Orang-orang yang berkerumun di emper Masjid Pandanaran ini, dengan memojok atau melingkar bersama anak masing-masing, pelan demi pelan mulai beranjak seiring kumandang azan Asar. Waktu mengingsut—pelan memang, lebih pelan dari langkah bekicot, tapi dengan pasti selalu maju, tak pernah berhenti. Sebagian besar pergi dan tak pernah kulihat lagi. Sebagian lain ikut salat, juga aku dan Gara.
Usai salat, usai Gara mencium punggung tanganku, aku berbisik padanya, “Le, kerasan ya di sini….”
Ia mengangguk, dengan sedikit tersenyum—senyuman yang kuhafal dengan hafalan yang lebih kukuh menghunjam daripada hunjaman hafalan Al Mulk.
Baca Juga:Difabel dalam Rekrutmen CPNSMelihat Ritual Sedekah Bumi di Cilamaya
Di emperan, istri dan dua anakku, serta Budhe Iis dan putrinya, Bella, telah menunggu. Gara ditawari pengin jajanan apa oleh mama dan budhenya. Ia bilang sate ayam. Di sisi selatan masjid, sejarak sepuluh langkah, ada pedagang sate ayam pakai sepeda motor yang sedang mangkal. Aku pun beranjak membelinya buat Gara.
Begitu kembali bersama sebungkus sate ayam, sekitar sepuluh menit berselang, kulihat mamanya sedang memeluk Gara. Sangat erat. Erat sekali: helai-helai angin pun takkan sanggup menyapih jarak keduanya.
“Sudah, sudah, Mah, nanti berat sendiri kalau mau pamit,” ujarku. Mereka saling berlepas pelukan, lalu Gara menerima bungkusan sate dariku, dan menyantapnya dengan lahap.
Rabu, 19 Juni 2019. Jika kau bersua denganku sepuluh tahun lagi, itu pun bila aku berumur panjang dan kau pun begitu, tanyakanlah padaku apa yang kukatakan dan kurasakan pada pukul 16.00 itu.
“Bagaimana perasaan Bapak ketika melepaskan Gara saat itu….?”
Sepuluh tahun lagi, pertanyaanmu itu masih akan sangat perkasa membuatku terdiam beberapa jenak, memaksa mataku terlontar ke ketinggian langit malam yang jelaga, lalu ingatanku melesat jauh, sangat jauh, ke setangkup wajah kecil yang amat kusayangi, yang tak lagi ada di depanku. Sebab, Gara anakku dan aku ayahnya, maka ia adalah selalu seorang anak berwajah kecil yang gemar merekahkan senyum dengan gigi putih berbaris di depanku. Baju kokonya hitam. Pecinya hitam. Sarungnya agak menggembung di bagian perut karena cara ia menggulungnya dibuntal-buntal begitu saja sekenanya, asal nyantol.