Banyak Data Harus Diperbaharui
KARAWANG – Bantuan Gubernur (BanGub) Jawa Barat untuk penanganan Covid-19 tengah jadi perbincangan hangat masyarakat. Khususnya, para kepala desa di wilayah Kabupaten Karawang. Pasalnya, data penerima bantuan sebesar Rp. 500 ribu per KK itu dianggap tidak valid. Karena mengacu pada Basis Data Terpadu (BDT) lawas, antara tahun 2012-2015 di Dinas Sosial kabupaten dan provinsi. Menanggapi hal itu, Kepala Desa Pasirjaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Abdul Hakim alias Saglak menuturkan, BanGub Covid-19 sebesar Rp 500 ribu per KK itu dianggap rawan konflik di masyarakat. Selain datanya yang masih perlu diperbaharui, kata Saglak, jumlah kuota yang diterima masing-masing desa berbeda. Bahkan, data validasi pemerintah desa dengan jumlah kuota bantuan masih sangat jauh angkanya. “Desa Pasirjaya mendapat kuota 184 orang. Padahal kebutuhannya 8.000 lebih,” ujar Saglak, kepada KBE, kemarin (7/4). Lanjut Saglak, ketimpangan tersebut akan memicu konflik di masyarakat. Apa lagi, kata dia, saat ini masyarakat sudah berasumsi. Bahwa pemerintah desa akan pilih-pilih para penerima bantuan. “Padahal desa tidak tau apa-apa. Datanya dari pusat, BDT itu jadi patokan. Makanya, saat ini desa tengah berupaya melakukan validasi. Agar penerima bantuan tepat sasaran,” jelasnya. Atas interuksi Wakil Bupati Karawang, Ahmad Zamakhsyari, lanjut Saglak, pihaknya saat ini terus berupaya melakukan pengecekan data sekaligus melakukan validasi. Dengan harapan penerima bantuan itu bisa tepat sasaran. “Jangan sampai tumpang tindih, yang nerima PKH dan BPNT itu tidak dapat. BanGub ini untuk masyarakat rawan miskin baru,” tegasnya. Hal senada diungkapkan oleh Kepala Desa Sukakerta, Kecamatan Cilamaya Wetan, Bukhori. Menurutnya, masalah utama dari BanGub Covid-19 ini adalah persoalan data. Bukhori bilang, tahun 2018 silam. Para kepala desa di Karawang sudah mengirimkan data update masyarakat miskin di desa masing-masing. Namun, data tersebut seperti tak terpakai karena tidak pernah digunakan. “Pada dasarnya BanGub ini tujuannya baik. Tapi persoalannya kenapa tidak pakai data Bottom Up yang sudah diserahkan kepala desa,” ujar Bukhori. “Padahal data yang valid itu yang Buttom Up. Kalau Top Down, banyak data masyarakat yang sudah meninggal masih tercatat, ada yang sudah keluar kota, bahkan tidak diketahui identitasnya,” ungkapnya. Bukhori mengatakan, solusi yang ditawarkan kepala desa melalui Apdesi Karawang sebenarnya sudah sangat baik. Yaitu, mengevaluasi data di Dinas Sosial Karawang. Kemudian hasil validasinya digunakan sebagai dasar masyarakat yang menerima bantuan. “Soal besaran bantuan juga akan jadi masalah. Kalau jumlah anggarannya memadai untuk mengcover semua usulan sih akan aman. Tapi kalau tidak, ajuan Buttom Up dari kepala desa saya yakin tidak akan digunakan,” tandasnya. Sementara, Kepala Desa Cikalong, Kecamatan Cilamaya Wetan, Lili Hermanto menambahkan, untuk mengurangi potensi konflik terjadi. Selain terus melakukan validasi data, pihaknya mengaku gencar mensosialisasikan BanGub Covid-19 itu kepada masyarakat. “Kita harap kalau masyarakat mengerti situasinya. Mereka bisa menerima keadaan itu,” imbuhnya. Kata Lili, Desa Cikalong mendapat jatah kuota paling sedikit di Kecamatan Cilamaya Wetan, yaitu 94 orang saja. Pasalnya, itu merupakan ajuan lama. Sehingga, ajuan tahun 2018 yang sudah dikirim tidak terdata dalam data base. “Kalau sampai kisruh sing tidak ya. Tapi banyak jadi pertanyaan. Kenapa masyarakat itu dapat, tapi yang ini tidak? begitu,” tukasnya. (wyd/rie)