Oleh: Mahesa Bahagiastra
*) Pimpinan Redaksi Karawang Bekasi Ekspres
SEKITAR pukul 22.00 15 Agustus Wikana dan Chairul Saleh datang ke Pegangsangan Timur 56, rumah Karno. Wikana, anak muda umur duapuluhtahunan itu mengancam Soekarno yang saat itu didampingi Hatta, Iwa KS juga seorang kelahiran Karawang, Ahmad Soebardjo.
“Apabila Bung Karno tak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah,” gertak Wikana kepada Karno. Versi lain, “Situasi gawat dan tidak stabil Bung harus disingkirkan!”
“Ini leherku, seretlah aku ke pojok ke sana dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menungu sampai besok!” Soekarno menjawab tanpa fafifu.
Baca Juga:Meriahnya Menyambut Hari Kemerdekaan di Mal Galuh MasDilepas Dani Ramdan, Jalan Sehat Disbudpora Kabupaten Bekasi Diikuti Ribuan Peserta
Tapi ABG tetaplah ABG. Wikana saat itu remaja seumur saya, mental dia tak sekeras suara geratak dia. Saat ditawari oleh Soekarno menghabisi nyawa, Wikana langsung agak jiper. Melongo, mungkin. “Maksud kami bukan membunuh, Bung.” terbata-bata ia menjelaskan.
Tim penculikan gabungan dari sejumlah geng yang eksis saat itu. (Dalam buku revolusi pemoeda Bennedictus Anderson, dia tulis terdiri tiga kelompok asrama pemuda. Yakni Geng Menteng 31, Geng Asrama Indonesia Merdeka, dan Geng Asrama Cikini 71). Sebenarnya tiga geng ini lebih banyak berselisih. Tapi urusan culik-menculik mereka sependapat .
Sejumlah literatur mencatat, Geng Menteng 31 punya banyak peran: banyak anak muda yang dalam istilah Gramschi disebut intelektual organik di Menteng 31. Tapi dua geng lain tak kalah penting ambil peran, mobil yang digunakan mengangkut Soekarno ke luar saat diasingkan mobil yang dari kelompok Asrama Cikini 71.
Setelah sampai di Rengasdengklok. Di rumah yang bangunannya (bukan lokasi tanahnya) kerap dikunjungi para pelajar untuk studi tur itu, para pemuda Soekarni, Chairul Saleh dkk pikir dua senior mereka, Karno dan Hatta akan sedikit kendur, dan melunak. Asumsi mereka salah, blas. Karno dan Hatta jelas unggul di pengalaman. Semangat dan gairah mungkin dimiliki anak-anak muda yang menculiknya. Tapi pertimbangan dampak setelahnya yang dipikirkan Karno-Hatta. Sebuah sikap khas bapak-bapak.
Tapi, lagi-lagi anak muda tetaplah anak muda. Tak pernah habis pikir untuk merencankan kenekatan. Meski sedikit jahil. Saya rasa itu juga yang dijarkan Sjahrir. Tokoh muda yang menjadi salah satu mentor para anak muda. Maklum, jangankan anak muda yang menculik Karno dan Hatta tempo itu, saya saja dalam banyak momen kuldesak, selalu ingat quotes yang sering diucapkan Sjahrir, “Hidup yang tak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan.” untuk merasionalisasi kenekatan.