Di gantungan itu sudah tak ada suara. Tapi kita tahu orang tak akan diam, juga setelah kematiannya. Ketika berita wafat sang ketua itu menyebar, seluruh isi kampung berhimpun.
Mereka mengenangnya. Kepala daerah dan bekasnya kemudian turun dan menyisih sekadar ingin tahu dan ‘bela sungkawa’.
Seorang yang masih muda menanggung ‘sakit’ sampai di sore itu… wafat. Tak jelas berapa orang yang menangis atas kepergiannya, atau justru gembira dan berpesta karena sang pesaing politik sudah lenyap tanpa harus berlomba.
Kini ia hampir dilupakan. Ada catatan kecil yang tertinggal di balik tas yang dulu sering ia gendong saat mendatangi para pemilihnya. Catatan itu memang tak mudah dibaca.
Baca Juga:Inilah Tampang Pelaku Arisan Bodong di Cilamaya yang Raup Rp 1.5 M untuk Poya-poya, Polisi Minta Para Korban Lain MelaporSosok KH Imaduddin Utsman Al Bantani, Ulama Penulis Buku Sejarah Habib yang Ceramahnya Digeruduk Massa, Pernah Mondok di Kampung Sawah Karawang
Tapi pesan gamblangnya… politik itu selalu berwajah ganda. Jahat dan ramah, menyenangkan dan kejam…. setia kawan dan pengkhianatan….
Sang ketua memang sudah tidak ada lagi, tapi ia meninggalkan catatan bahwa demokrasi ujung-ujungnya selalu hanya permainan para konsumen dan politik untuk kepentingan spesifik yang terpisah-pisah. Demokrasi telah berbaur dengan kekecewaan, dan politik telah kehilangan tanggungjawab yang lebih tinggi…
Di situlah politik, seperti kata Niehbur, sudah bukan lagi pergulatan untuk keadilan yang berlangsung tertus-menerus.
Padahal selalu ada panggilan moral dalam pekerjaan. Selalu ada landasan metafisik yang dimulai dengan kesadaran bahwa kematian bukanlah akhir…. Selalu ada penilaian… selalu ada karma… selalu ada pembalasan. **