Dalam sebuah invasi bangal Mongol ke Cina, Cheng Ho dibawa ke salah satu suku di Cina sebagai anak sebatang kara karena ayah dan ibunya ditangkap. Namun begitu, dalam perjalanannya beranjak dewasa, Cheng Ho pernah menjadi orang kepercayaan salah satu kaisar pada masa Dinasti Ming.
Selain Syekh Quro yang menetap di Cirebon, awak kapal armada Cheng Ho lainnya juga diyakini menetap temporer bahkan di antaranya permanen. Mereka tinggal di daerah yang kini disebut Kapetakan di Kabupaten Cirebon.
Dikatakan, Kapetakan dalam bahasa Cirebon berarti putih, yang mengacu pada kulit orang asing yang menetap di sana. Sebutan Kapetakan hingga kini itu dipercaya sebagai salah satu peninggalan Cheng Ho.
Baca Juga:2024 Kemendes-DNN Jalin Kerjasama: yang Dibutuhkan Informasi Dana Desa sampai ke Masyarakat DesaKarawang Target Satu Kecamatan Satu BKB HIU, Percepat Penurunan Stunting dengan Perbaikan Pola Asuh Anak
“Selain naskah Purwaka Caruban Nagari, dikulik pula fakta-fakta linguistik dalam penelusuran jejak-jejak Cheng Ho,” terang Ofan lagi.
Selain Kapetakan yang menjadi salah satu fakta linguistik yang dia gunakan, nama tempat lain yang berkaitan dengan jejak Cheng Ho di antaranya Celancang, Pabean, Jalan Budi Raja (yang menghubungkan Celancang dengan Mertasinga), hingga nama-nama makam para tokoh Cirebon seperti Nyai Rinjing, Ki Gede Alap-alap, Ki Pandu, dan lainnya.
Tak hanya itu, sejumlah produk budaya yang hingga kini masih hidup di tengah masyarakat Cirebon juga diyakini sebagai warisan Cheng Ho.
Produk budaya itu di antaranya pesta laut Nadran dan Ngunjung atau Nyekar ke makam leluhur.
Berlabuh di Aceh
Sebelum ke Jawa, Laksamana Cheng Ho juga pernah berlabuh di Kerajaan Samudra Pasai (kini wilayah Pase, Aceh Utara). Dalam kunjungan muhibahnya ke Kerajaan Samudra Pasai, Cheng Ho menghadiahkan lonceng besar yang dibawanya dari Tiongkok (Cina).
Ketika Kerajaan Samudra Pasai menjadi federasi atau menjadi daerah taklukan Kerajaan Aceh, lonceng besar itu dibawa ke Bandar Aceh Darussalam (kini kota Banda Aceh).
Lonceng itu digantung di sebatang pohon di lingkungan Istana Darud Donya (istana Raja Aceh).