Menaggapi hal ini dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mendesak Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu menindaklanjuti laporan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK. Laporan itu mengungkap adanya indikasi tindak pidana pencucian uang pada dana kampanye Pemilu 2024.
Ia mengatakan, pendanaan kampanye dari tambang ilegal merupakan kejahatan sumber daya alam atau green financial crime. “Insting Bawaslu harus kuat, tidak boleh lembek apalagi jika berhadapan dengan kekuasaan dan para pemodal,” ucapnya saat dihubungi, Ahad, 17 Desember 2023.
Aturan hukum perihal ini, menurut Herdiansyah, sudah jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemilu. Dia mengatakan undang-undang itu mengatur secara eksplisit penggunaan dana kampanye yang bersumber dari kejahatan, merupakan tindak pidana. “Jadi ini hanya soal komitmen dan keseriusan Bawaslu,” ujarnya.
Baca Juga:Persoalan Pungli Tenaga Kerja di Karawang akan Dibawa Ganjar ke Debat Capres75 Pegawai Kemenag Karawang Dapat Penghargaan Satya Lencana Karya Satya, H.Sopian: Semoga Jadi Dedikasi dan Loyalitas Semangat Kerja
Herdiansyah menambahkan, ketentuan Pasal 339 menyebut peserta pemilu, pelaksana kampanye, dan tim kampanye dilarang menerima dana dari hasil kejahatan, pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya, termasuk dana yang berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, pemerintah desa, dan BUMDes.
Ancaman pidana terhadap larangan ini, menurut Herdiansyah, diatur dalam Pasal 527. Pasal itu menyebut peserta pemilu yang terbukti menerima sumbangan dana kampanye dari hasil kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.
Sebelumnya, PPATK menyatakan adanya aliran dana kampanye yang bersumber dari tambang ilegal. Selain itu, seperti penjelasan PPATK, ada juga pendanaan kampanye bersumber dari penyalahgunaan fasilitas pinjaman Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di salah satu daerah Jawa Tengah.
Pencairan pinjaman yang seharusnya digunakan untuk modal kerja debitur-debitur itu, diduga digunakan untuk kepentingan simpatisan partai, MIA. Selama 2022-2023, total pencairan dari BPR di salah satu daerah di Jawa Tengah ke rekening 27 debitur mencapai Rp 102-an miliar.
Dari pencairan pinjaman itu, pada waktu bersamaan atau berdekatan dilakukan penarikan tunai. Duit itu lalu disetorkan kembali ke rekening MIA. MIA diduga sebagai pihak pengendali atas dana pinjaman tersebut.