Seiring berjalannya waktu, Carok mengalami pergeseran dalam praktiknya. Banyak orang tak bertanggung jawab yang melakukan Carok tanpa alasan yang kuat.
Itu menimbulkan persepsi yang lain di masyarakat luar Madura. Mereka menganggap Carok hanyalah alternatif untuk melampiaskan amarah melalui tindak kekerasan.
Terlepas dari itu, dalam Carok ada kebiasaan untuk menyimpan baju bekas atau senjata berlumur darah yang digunakan saat Carok. Tujuannya agar anak cucu di masa depan dapat terinspirasi sang ayah dalam menjaga kehormatan keluarga. Ada pula yang menguburkan mayat yang kalah dalam Carok di dekat rumah, alih-alih di pemakaman umum.
Baca Juga:Seleksi PPIH Arab Saudi tingkat Pusat Sudah Dibuka Sejak 11 Januari 2024, Ayo Daftar Sebelum Ditutup 10 Januari 2024Konser Musik Pesta Rakyat Ganjar-Mahfud Disusupi Pendukung Capres Lain, Rusuh Saat Sekelompok Orang dalam Kondisi Mabuk Teriak-teriak Capres Lain
Sebuah penelitian berjudul Sikap Masyarakat Madura Terhadap Tradisi Carok: Studi Fenomenologi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura yang ditulis Rokhyanto dan Marsuki, mencoba mengumpulkan tanggapan masyarakat Madura mengenai Carok.
Dari 180 responden, 75 persen di antaranya menyatakan tidak bangga dan senang dengan Carok. Sedangkan 18,33 persen mengaku bangga dan senang. Sisanya yakni 6,66 persen merasa ragu-ragu.
Dari angket yang disebar itu, sebagian besar orang tidak setuju bahwa Carok adalah tradisi Madura. Alasannya, mereka memilih menyelesaikan masalah secara bijak, tanpa harus melakukan kekerasan.
Kesimpulannya, penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa tradisi Carok masih terjadi di 4 kabupaten di Pulau Madura, antara lain Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Namun alih-alih dinilai mewakili seluruh masyarakat Madura, tradisi ini sifatnya lebih lokal dan personal. Artinya, tidak semua masyarakat Madura melakukannya. **