KBEONLINE.ID –Â Kini slow living menjadi tren di masyarakat. Namun, banyak yang mengira slow living berarti bermalas-malasan. Setidaknya terdapat 3 kesalahan penerapan slow living.
Slow living, sebuah istilah yang saat ini sedang populer di media sosial, digambarkan sebagai gaya hidup yang menenangkan dan dianggap cocok untuk semua lapisan masyarakat, terutama bagi pekerja yang sering merasa sibuk.
Meskipun ada yang mendukungnya, tidak sedikit yang skeptis terhadap gaya hidup ini karena dianggap dapat mengurangi ambisi.
Baca Juga:Ternyata Ini Asal-usul Nama Kota Depok, Sudah ada dari Zaman Kerajaan Padjadjaran!Kenali Ciri-ciri ADHD pada Anak yang Harus Moms Ketahui
Konsep slow living mewakili ide untuk melambatkan ritme hidup, memberikan kesadaran akan keindahan kehidupan. Dengan memahami konsep ini, kamu dapat lebih menghargai momen-momen sederhana yang sering terlewatkan. Penerapan slow living menjadi suatu cara untuk mengembalikan nilai-nilai yang mendasari kehidupan.
Meskipun teknologi dan kemajuan industri 4.0 telah mempermudah banyak aspek kehidupan sehari-hari, dampaknya terkadang membuat kehidupan menjadi terlalu cepat.
Kesibukan yang terus-menerus dapat menyebabkan kelelahan dan bahkan masalah kesehatan mental di masyarakat.
Slow living mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru dalam menyelesaikan tugas, melainkan untuk merenungi dan menghargai setiap momen. Ini bukan hanya tentang seberapa cepat kita menyelesaikan pekerjaan, melainkan tentang usaha keseluruhan untuk merumuskan tujuan hidup tanpa tergesa-gesa.
Dalam konteks ini, seringkali kita terjebak dalam kebiasaan mengejar daftar tugas harian untuk membuktikan produktivitas. Namun, slow living mengingatkan bahwa sibuk belum tentu berarti produktif, dan mencapai impian berdasarkan standar orang lain belum tentu membawa kebahagiaan. Konsep ini menawarkan perspektif baru, di mana kebermaknaan hidup lebih ditekankan daripada sekadar kecepatan atau ekspektasi sosial.