Jadi pengembangan produk bersertifikat halal harus dioptimalkan. Apalagi, negara-negara berpenduduk nonmuslim juga banyak yang sudah mengembangkan industri halal.
“Produk-produk yang kita ekspor ke negara-negara anggota OKI ini seharusnya sudah bersertifikat halal semuanya,” kata Kasan.
Sertifkat halal Indonesia, kata Kasan, juga harus diakui di negara tujuan. Sehingga selain memenuhi kriteria kulitas, produk Indonesia juga harus bersertifikat halal.
Baca Juga:ATR/BPN Bagikan 3256 Sertifikat pada MasyarakatPipik Taufik Ismail Ajak Komisi 4 DPRD Jabar dan Bappeda Datangi Abrasi dan Pencemaran Sungai di Karawang
Merespon hal itu, Sukoso menjelaskan bahwa pihaknya terus melakukan sosialisasi dan pembinaan JPH kepada masyarakat dan pelaku usaha, serta mendorong partisipasi mereka dalam penyelenggaraan JPH.
BPJPH juga mengajak stakeholders untuk mendirikan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), Halal Center dan juga Lembaga Sertifikasi Profesi di perguruan tinggi. Ketersediaan LPH dengan auditor halalnya dan juga penyelia halal sangat dibutuhkan untuk mendukung implementasi UU JPH.
Terkait biaya sertifikasi halal bagi UMK, Sukoso mengatakan pihaknya mengupayakan melalui UU Cipta Kerja bahwa tarifnya adalah nol rupiah. Ini bagi UMK dengan omzet di bawah Rp1 M pertahun.
Saat ini, BPJPH juga tengah memberikan program fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal bagi 3.283 UMK yang tersebar di 20 provinsi. Fasilitasi itu bersumber dari realokasi anggaran Kemenag tahun 2020. Faslitasi dan pembinaannya dilaksanakan tim BPJPH bersama Satgas Halal Kanwil Kemenag Provinsi.
BPJPH juga menggandeng dinas/instansi pembina UMK setempat dan LPH (LPPOM MUI), serta asosiasi/komunitas UMK setempat.
Sukoso mengajak semua pihak untuk terus meningkatkan kesadaran halal masyarakat, baik konsumen maupun pelaku usaha. Ia berharap, ke depan Indonesia dapat menjadi produsen produk halal halal bagi dunia. “Jadi, kita bersama mewujudkan Halal Indonesia untuk masyarakat dunia.” pungkasnya. (spd)