Demi Tempat Tinggal, Warga Babelan Rela Bayar Puluhan Juta, Akhirnya Digusur Juga

Anak di Bekasi menangis
Seorang anak menangis karena rumahnya digusur. --KBE--
0 Komentar

BEKASI, KBEonline.id – Pembongkaran ratusan bangunan liar di bantaran sungai Kampung Pulo Timaha, Desa Babelan Kota, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi menyisakan kisah pilu bagi para penghuninya. Sebagian dari mereka sudah tinggal puluhan tahun, sementara yang lain mengaku menjadi korban tipu oknum perangkat desa.

Aksi pembongkaran yang dilakukan oleh tim gabungan itu sempat diwarnai ketegangan. Sejumlah warga menolak rumah mereka dibongkar karena merasa tidak mengganggu ketertiban umum. Bahkan, beberapa mengklaim memiliki surat kepemilikan tanah yang ditandatangani pihak desa.

“Saya baru tahu ini tanah pemerintah setelah pindah ke sini. Waktu beli, katanya baru akan dibangun 17 tahun lagi, makanya saya percaya. Tapi sekarang dibongkar,” tutur Masripah Nainggolan (40), salah satu warga terdampak kepada Cikarang Ekspres Rabu (09/7).

Baca Juga:Kisah Pilu Masripah, Pemilik Salon yang Jadi Korban Janji Oknum Perangkat DesaAgus Rivai Terpilih, DPRD Karawang Puji Pemda Tetapkan Dewas Petrogas Hasil Seleksi Ketat dan Transparan

Dia mengaku baru setahun menempati tanah tersebut. Dia membeli dari seorang warga yang sebelumnya tinggal di tanah di depan jalan umum itu. Dia membeli seharga Rp 60 juta kemudian dibangun rumah serta salon untuk tempat usaha.

“Itu baru tanah saja. Kami bangun sendiri habis Rp 100 juta sama pasang PLN dan PAM. Saya belinya itu dari hak pemilik bilangnya, itu ditandatangani sama desa. Memang ada itu dari (perangkat) desa tapi saya hubungi orangnya sudah enggak nyambung lagi, telepon enggak pernah diangkat sekalipun,” ucap dia.

Masripah berharap, pemerintah turut memerhatikan nasibnya sekeluarga pasca dibongkar. Setidaknya mereka diberi kompensasi seperti yang diberikan Gubernur Dedi Mulyadi di wilayah Tambun. “KDM kasih kompensasi di Tambun Utara, tapi setelah itu enggak ngasih lagi. Saya harap juga dikasih lagi, karena kan harus merata, jangan pilih kasih,” ucap dia.

Berbeda dengan Masripah, Suhendra (35) harus merelakan warung makannya dibongkar. Padahal, selain menjadi sumber penghasilan utama, warung masakan Betawi miliknya diklaim sudah banyak dikenal orang.

“Dikenal, bahkan sampai Jakarta juga dikenal. Dulu pernah Haji bolot, bupati lama (Neneng Hasanah Yasin) makan di sini. Mungkin tempat saya rumah makan ya untuk melestarikan budaya betawi juga. Cuma sekarang dibongkar. Pertanyaannya kenapa Cuma jalur ini saja?” kata dia.

0 Komentar