Sementara itu, Kuasa hukum korban lainnya, Dian Suryana menyebutkan, pihaknya sengaja berdialog dengan jajaran Satreskrim untuk meminta penjelasan pernyataan Polsek Majalaya yang menyebut dugaan kekerasan seksual antara korban dan pelaku sebagai “suka sama suka” dan menyatakan bahwa korban pernah “check-in” di hotel bersama pelaku.
Pernyataan tersebut dinilai Dian, tidak hanya prematur secara hukum, tetapi juga tidak berperikemanusiaan. Sebab, hingga hari ini, korban belum pernah dimintai keterangan secara resmi oleh penyidik.
“Pernyataan Polsek Majalaya hanya berdasar pada keterangan terlapor. Ini pernyataan sesat dan menyakitkan korban,” ujarnya.
Baca Juga:Pendamping Hukum Desak Polres Karawang Gunakan Pasal yang Tepat dalam Kasus Dugaan Kekerasan SeksualJam Masuk Sekolah Lebih Pagi, Saidah Anwar: Penyesuaian di Lapangan Harus Diperhatikan
Dari sisi hukum, pernyataan tersebut bisa dikategorikan sebagai bentuk reviktimisasi, yakni tindakan yang membuat korban kembali mengalami penderitaan akibat pengabaian hak-haknya oleh aparat penegak hukum. Hal ini bertentangan dengan semangat Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang menempatkan korban sebagai subjek utama perlindungan.
Lebih dari aspek yuridis, tim penasihat hukum juga menyoroti dampak psikologis dan sosial yang dialami korban. Selain trauma akibat kejadian dugaan kekerasan seksual tersebut, korban dapat mengalami tekanan secara psikis akibat stigma yang dibentuk melalui opini yang keliru.
“Pernyataan aparat yang tidak berdasar dan tendensius justru menghambat proses penegakan hukum dan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Oleh karena itu, tim hukum akan terus mengawal kasus ini sampai keadilan ditegakkan dan korban mendapatkan hak perlindungannya secara penuh, baik secara hukum maupun secara psikologis,” tukasnya.
Berita sebelumnya, Kuasa Hukum korban, Gary Gagarin menjelaskan, sebelum korban dipaksa menikah dengan pelaku, peristiwa itu sempat ditangani Polsek Majalaya, Kabupaten Karawang. Namun, oleh pihak Polsek, korban malah diperintahkan menempuh jalan damai dan tidak pernah diperiksa oleh penyidik.
Dijelaskan Gary, kekerasan seksual yang menimpa korban terjadi 9 April 2025. Saat itu ia sedang berada di rumah neneknya di Ciranggon dan pelaku yang tinggal di Tempuran datang ke Ciranggon.
“Saat itu rumah sedang sepi dan terjadi dugaan kekerasan seksual. Perbuatan pelaku dipergoki nenek korban, hingga akhirnya pelaku dibawa ke Polsek. Saat kejadian korban pingsan dan baru sadar setelah di bawa ke klinik,” ujarnya.