BEKASI, KBEonline.id – Fenomena tawuran remaja di Kabupaten Bekasi menunjukkan pola yang semakin mengkhawatirkan. Tak lagi sekadar adu fisik, aksi brutal itu kini direkam, disiarkan langsung di media sosial, bahkan disiapkan seperti konten hiburan demi popularitas.
Di balik deretan kasus itu, UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Bekasi terus berupaya meredam dampaknya melalui pendekatan pendampingan dan rehabilitasi.
“Kalau kita lihat sekarang, tawuran bukan lagi spontan. Ada yang janjian, ada yang siapkan tim dokumentasi, bahkan live di IG. Artinya ini sudah jadi ajang eksistensi,” ungkap Kepala UPTD PPA, Fahrul Fauzi kepada Cikarang Ekspres.
Baca Juga:‎Membanggakan, Atlet AKTI Kabupaten Karawang Wakili Jawa Barat di Fornas VIII NTB 2025Update Transfer Super League 2025/2026: Persija dan Persib Habis-habisan Berburu Pemain Asing!
Menurutnya, aksi tawuran kini banyak dilakukan di luar jam sekolah, bahkan malam hari, memanfaatkan waktu liburan atau malam menjelang hari libur. Tawuran juga bergeser dari konflik antar sekolah menjadi antar komunitas atau geng.
“Tawuran sekarang makin aneh. Bukan hanya karena ingin dikenal, tapi karena haus eksposur. Secara psikologis, ini bisa jadi karena ketidakpuasan eksistensi pribadi. Tapi jujur, kami belum punya riset tentang itu,” ujarnya.
Meski PPA tidak menjadi garda terdepan dalam penanganan kasus tawuran, namun tetap menerima permohonan pendampingan hukum, terutama jika pelaku masih di bawah umur. Dalam catatan tahun ini, ada sekitar dua hingga tiga kasus tawuran anak yang ditangani pihaknya.
“Biasanya kami masuk ketika anak sudah ditahan polisi. Baru orang tuanya datang minta pendampingan atau pengajuan rehabilitasi medis, seperti kasus di Tambun Utara kemarin, anaknya luka berat, tangannya putus,” kata Fahrul.
Pada kasus tersebut, pihaknya membantu pengajuan biaya pengobatan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) karena keluarga tidak mampu. Nilainya mencapai Rp40 juta.
Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua kasus tawuran bisa diajukan untuk advokasi medis karena pada umumnya anak yang terlibat adalah pelaku, bukan korban. “Kalau pelaku, realisasi medis lewat LPSK biasanya tak masuk. Itu tantangan lain,” katanya.