Selain kerja sama formal, kata Titin, pihaknya juga mengembangkan pendekatan edukatif. Salah satunya melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Pusaka yang berfungsi sebagai wadah edukasi dan pembinaan bagi orang tua.
Lewat Puspaga, para orang tua dibekali keterampilan dalam pengasuhan, komunikasi keluarga, dan pencegahan kekerasan berbasis rumah tangga. Tujuannya, agar para orang tua memahami pentingnya kesiapan mental dan emosional anak sebelum memasuki dunia pernikahan.
Pernikahan anak menimbulkan berbagai risiko serius. Dari sisi kesehatan, anak perempuan yang hamil di usia dini berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan dan melahirkan. Dari sisi sosial, mereka rawan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan kehilangan kesempatan menempuh pendidikan.
Baca Juga:Rp1,5 Miliar Raib, Polisi Buru Komplotan Pencuri Toko Bangunan di Tambun Utara 6 Warna Cat Tembok yang Tak Disukai Nyamuk, Bebas dari Gangguan Nyamuk!
Secara ekonomi, pernikahan dini kerap menjadi awal dari kemiskinan struktural. Anak perempuan yang menikah muda biasanya putus sekolah dan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak.
“Ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi menyangkut masa depan generasi muda. Kalau tidak dicegah, akan menjadi lingkaran kemiskinan yang berulang,” imbuh Titin.
Oleh karena itu, Titin menekankan, penanganan persoalan ini tidak cukup melalui regulasi. Perlu perubahan pola pikir masyarakat yang masih menganggap pernikahan sebagai solusi atas kehamilan tidak diinginkan atau tekanan ekonomi.
“Masih banyak yang beranggapan menikahkan anak adalah jalan keluar. Padahal itu justru membuka persoalan baru. Kita butuh pendekatan kultural, bukan hanya hukum,” tandasnya. (Iky)