KBEonline.id – Di Jawa Barat, belakangan ini ramai dibahas soal kebijakan jumlah siswa dalam satu kelas yang bisa mencapai 50 orang per rombongan belajar (rombel). Angka ini terdengar padat, dan memang padat apalagi kalau dibayangkan ruang kelasnya tidak berubah ukuran.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menjelaskan kebijakan barunya terkait jumlah 50 siswa per rombongan belajar (Rombel). Angka 50 itu bukan aturan baku untuk semua sekolah. Itu batas maksimal, bukan kewajiban.
Artinya, kalau sebuah sekolah hanya mampu menampung 30/40/45 siswa dalam satu kelas dengan nyaman, ya tidak harus dipaksakan ke angka 50. Kebijakan ini sebenarnya bersifat fleksibel, menyesuaikan kapasitas sekolah masing-masing.
Baca Juga:Gubernur Jabar Larang Siswa Membawa HP ke Sekolah, Antara Ketertiban dan Tantangan di Era DigitalJam Masuk Sekolah 06.30, Apa yang Perlu Dipahami oleh Siswa Guru dan Orang Tua?
Lalu, kenapa muncul kebijakan seperti ini? Jawabannya berkaitan dengan masalah daya tampung sekolah negeri yang terbatas. Setiap tahun, lulusan SMP di Jawa Barat jumlahnya sangat banyak. Sementara tidak semua bisa langsung tertampung di SMA/SMK negeri.
Nah, di sinilah pemerintah mencoba membuat celah dengan menambah jumlah siswa per kelas, supaya lebih banyak anak bisa sekolah, terutama mereka yang berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi.
Meskipun tujuannya mulia tapi di lapangan, tentu tidak semudah itu. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dan disesuaikan dari kebijakan ini, karena bukan hanya murid yang merasakan tapi juga guru yang mengajar dan kekhawatiran orang tua siswa soal kualitas belajar anak.
Banyak guru mengaku kewalahan jika harus mengajar terlalu banyak siswa dalam satu kelas. Interaksi jadi minim, waktu mengoreksi tugas membengkak, dan perhatian ke siswa yang membutuhkan bantuan lebih jadi terabaikan. Siswa pun merasa sesak secara fisik maupun psikologis. Ada yang mengeluh kurang bisa fokus, ada yang merasa seperti “hanya jadi angka” di kelas.
Bagi sekolah swasta, kebijakan ini juga memicu kekhawatiran. Banyak dari mereka khawatir kehilangan siswa, karena orang tua lebih memilih sekolah negeri yang lebih murah meskipun kelasnya padat. Kalau murid berkurang drastis, operasional sekolah swasta bisa ikut terganggu. Bahkan ada yang menyebut, “sekolah swasta bisa ‘gulung tikar’ kalau ini berlangsung terus.”