BEKASI, KBEonline.id – Ketika Uswatun Hasanah (25) pertama kali melihat brosur The Artera Hills 2, harapan akan hunian yang nyaman dan modern langsung tumbuh. Bangunannya bergaya semi-komersil, cicilan ringan, dan lokasinya strategis dekat kawasan MM2100, tempat sang suami bekerja. Dengan DP hanya Rp10,5 juta turun dari harga awal Rp13,5 juta dan cicilan bulanan Rp1,4 juta, ia dan suami merasa telah menemukan rumah impian.
Namun, harapan itu cepat berubah menjadi kekhawatiran. Rumah yang baru ditempati sejak September 2024 itu, ternyata hanya dua bulan kemudian, berubah menjadi kolam bencana.
“Dari awal kami tanya soal banjir, mereka (marketing) bilang aman. Bahkan kami tanya, ada aliran sungai atau tidak, dijawab tidak ada,” ujar Uswatun kepada Cikarang Ekspres.
Baca Juga:306 Kasus Kusta Aktif di Bekasi, Puskesmas Terbaik Akan Dapat Hadiah Rp50 JutaBupati Bekasi: Penanganan Banjir Perumahan The Arthera Hill 2 Masih Tanggung Jawab Pengembang
Ia mengaku hanya diajak melihat rumah contoh di bundaran depan. Saat itu, kawasan rumah yang akan dibelinya masih berupa lahan mentah. Denah yang diberikan juga tidak menunjukkan adanya sungai.
“Waktu kami lihat banyak penghijauan di gambar, mereka bilang itu untuk fasos dan taman, bukan aliran air,” tambahnya.
Lebih dari itu, warga sekitar juga ikut meyakinkan mereka. “Teman suami bilang daerah Artera nggak pernah banjir. Jadi ya, kami percaya.” katanya.
Sayangnya, kenyataan tak seindah brosur. Pada November 2024, hanya dua bulan setelah ia mulai tinggal, banjir datang. “Banjir pertama itu tinggi airnya sudah sedada orang dewasa di rumah saya. Kalau di luar, bisa seleher,” kenangnya.
Rumah Uswatun terletak di tahap 3, yang posisinya cukup tinggi dibanding blok lain. Namun itu tidak membuatnya bebas genangan. Blok FF titik terendah di kompleks bahkan sudah 6 kali kebanjiran dalam waktu kurang dari setahun, dengan ketinggian air mencapai 3 meter hingga menyentuh kanopi.
“Kasur, sofa, kulkas, mesin cuci, semua hanyut atau rusak. Kami rugi puluhan juta. Dinding rumah retak, pintu jebol, kanopi rusak,” keluhnya.
Lebih dari kerugian fisik, trauma psikologis kini menjadi hantu sehari-hari. “Setiap hujan kami cemas. Tidur nggak tenang. Takut air naik lagi.” imbuhnya.