KBEonline.id – Nama “Situ Buleud” sudah lama menghuni benak masyarakat Purwakarta. Dalam bahasa Sunda, “situ” berarti danau atau kolam, sementara “buleud” berarti bulat atau melingkar.
Nama ini mencerminkan bentuk asli danau tersebut yang bulat sempurna, sekaligus menyimpan cerita lama yang jarang diketahui generasi sekarang.
Konon, di masa lalu, area Situ Buleud adalah kubangan alami tempat berkubangnya badak bercula satu. Beberapa warga sepuh masih menyebut kawasan itu sebagai tempat “badak ngahiang” atau hilangnya badak yang dipercaya menjadi simbol kepergian hewan-hewan langka akibat menyempitnya habitat.
Baca Juga:Ini 5 Program Studi di UPI Kampus Purwakarta yang Perlu Kamu Tahu!Pembangunan Underpass Gorowong Dimulai, Diharapkan Kurangi Risiko Kecelakaan di Perlintasan Kereta Warungbambu
Dari sinilah nama “Situ Buleud” diyakini berasal, dan bukan sekadar sebutan geografis, tapi juga cerminan zaman ketika alam masih menjadi tuan rumah bagi satwa-satwa besar di tanah Sunda.
Tak hanya kisah fauna, warga juga menyimpan mitos yang terus hidup hingga kini. Beberapa masyarakat percaya bahwa danau ini dulunya dijaga oleh sosok gaib bernama Eyang Buyut Situ, yang dipercaya menjaga keseimbangan air dan kelestarian lingkungan.
Karena itu, dulu ada tradisi sesajen atau larung kecil menjelang musim tanam, sebagai bentuk penghormatan kepada penjaga alam. Meskipun praktik itu kini hampir hilang, narasinya masih diceritakan turun-temurun oleh warga sekitar.
Seiring perkembangan zaman dan kebutuhan manusia akan ruang hidup serta pengairan, kubangan alami itu perlahan berubah. Pada masa kolonial Belanda hingga awal kemerdekaan, Situ Buleud mulai ditata sebagai danau buatan. Fungsinya makin luas, dari sekadar sumber air menjadi bagian dari struktur tata kota Purwakarta.
Lompatan fungsi besar terjadi antara tahun 1970 hingga awal 2000-an. Kala itu, Situ Buleud mulai dikenal sebagai tempat rekreasi rakyat. Sederhana, tapi ramai. Setiap Minggu pagi, warga datang untuk berolahraga, bermain sepeda, memancing, hingga menikmati udara segar di tengah kota.
Di sisi barat danau bahkan pernah berdiri panggung terbuka tempat anak muda mengadakan pentas seni dan komunitas seni jalanan tampil spontan. Ini adalah masa ketika Situ Buleud menjadi ruang publik informal, meski infrastrukturnya belum optimal.