Sejarah Situ Buleud, Bermula dari Kubangan Badak menjadi Taman Air Mancur Spektakuler!

Sejarah Situ Buled
Situ Buleud yang kini juga di kenal dengan Taman Air Mancur Sri Baduga bukan hanya kebanggaan warga, tapi juga representasi dari bagaimana sejarah lokal, mitos, budaya, dan pembangunan modern bisa berjalan beriringan. 
0 Komentar

Titik balik sejarah Situ Buleud terjadi pada era pemerintahan Bupati Dedi Mulyadi (2008–2018). Beliau melihat potensi danau ini sebagai pusat identitas budaya kota. Maka lahirlah gagasan besar untuk mengubah Situ Buleud menjadi taman air mancur terbesar di Asia Tenggara yang sekaligus menampilkan wajah budaya Sunda secara visual.

Revitalisasi ini dilakukan bertahap. Dimulai pada 2013 dengan pembangunan dasar dan instalasi air mancur awal, dilanjutkan tahun 2014–2015 dengan penambahan teknologi canggih dari mulai proyektor laser, tata lampu warna-warni, hingga sistem kontrol musik terintegrasi.

Grand launching dilakukan pada 2017, dan sejak itu nama Taman Air Mancur Sri Baduga mulai menggema ke luar kota, bahkan luar negeri.

Baca Juga:Ini 5 Program Studi di UPI Kampus Purwakarta yang Perlu Kamu Tahu!Pembangunan Underpass Gorowong Dimulai, Diharapkan Kurangi Risiko Kecelakaan di Perlintasan Kereta Warungbambu

Nama “Sri Baduga” sendiri bukan sembarang label. Ini adalah nama resmi Prabu Siliwangi, raja besar Kerajaan Pajajaran di abad ke-15. Sosok ini dikenal sebagai pemimpin bijaksana, agung, dan pembawa kejayaan Sunda.

Dengan menempatkan patungnya beserta empat harimau putih di tengah danau, taman ini tak hanya megah secara visual, tetapi juga mengandung simbolisme kearifan, kekuatan, dan identitas Sunda yang kuat.

Pasca pembangunan, wajah Purwakarta berubah drastis. Ruang publik yang dulunya minim fasilitas kini jadi ikon wisata yang hidup dan dinamis. Aktivitas warga pun meningkat pertunjukan air mancur musikal setiap malam Minggu selalu ramai, jalan setapak dipenuhi pejalan kaki dan pelari, komunitas berkumpul, keluarga piknik, hingga fotografer yang memburu momen terbaik.

Dampak sosialnya terasa nyata. UMKM di sekitar taman tumbuh cepat. Pedagang kaki lima, jasa sewa sepeda, penjual makanan khas seperti sate maranggi mini dan bandrek instan mulai bermunculan.

Selain itu, taman ini juga menginspirasi pembangunan ruang-ruang publik lain di Purwakarta dengan konsep serupa yakni dengan berbasis budaya, nyaman, dan terbuka untuk semua kalangan.

Kini, Taman Air Mancur Sri Baduga bukan hanya kebanggaan warga, tapi juga representasi dari bagaimana sejarah lokal, mitos, budaya, dan pembangunan modern bisa berjalan beriringan.

Ia menjadi semacam “buku terbuka” yang menceritakan masa lalu, kini, dan cita-cita masa depan Purwakarta tanpa harus menghapus akar yang telah tumbuh sejak ratusan tahun lalu. (L. Fidini Rizqi)

0 Komentar