Dulu Tempat Pembantaian 41 Nyawa Saat Perang Kemerdekaan,  Seperti Apa Rawagede Sekarang?

Rawagede
Monumen Rawagede
0 Komentar

KBEonline.id- Kalau kamu datang ke Desa Balongsari hari ini, kamu mungkin tak akan menyangka bahwa desa kecil nan tenang ini pernah jadi saksi tragedi kemanusiaan yang begitu pilu.

Udara segar khas Karawang menyapa dari sawah yang membentang luas, anak-anak berlarian di jalanan kecil sambil tertawa, dan di ujung kampung, ibu-ibu tampak sibuk menjemur padi sambil bergosip ringan.

Damai, bukan? Tapi di balik kedamaian itu, tersimpan luka lama yang masih berdenyut sebuah sejarah berdarah yang dulu mencatat nama desa ini sebagai Rawagede.

Baca Juga:Bebek Kaleyo Galuh Mas Karawang, Tempat Makan Bebek Enak yang Bikin Ketagihan!DLHK Karawang Pastikan Pelaksanaan Proyek Pengecetan Kanstin Sesuai Prosedur dan Tepat Waktu

Mundur ke tanggal 9 Desember 1947. Saat itu, tentara Belanda datang dengan alasan mencari seorang pejuang republik yang dikomandoi Lukas Kustaryo.

Tapi bukan penangkapan yang terjadi, melainkan pembantaian. Ratusan laki-laki Rawagede termasuk petani, pemuda, bahkan yang sudah lanjut usia dipaksa berdiri dalam barisan, lalu satu per satu ditembak mati.

Suara tangis dan teriakan memenuhi udara pagi. Menurut catatan sejarah, sekitar 431 nyawa melayang hari itu. Tanpa proses hukum, tanpa ampun.

Masyarakat Rawagede saat itu hidup sederhana. Mereka mengandalkan pertanian sebagai tumpuan hidup. Gotong royong bukan sekadar slogan, tapi benar-benar menjadi bagian dari diri mereka. Perempuan menanam, laki-laki mencangkul, dan anak-anak tumbuh di tengah ladang dan cerita rakyat.

Tapi sejak tragedi itu, segalanya berubah. Banyak keluarga kehilangan pencari nafkah. Pendidikan nyaris mandek. Rasa takut bertahan bertahun-tahun, bahkan setelah perang usai.

Namun Rawagede tak tinggal diam dalam kesedihan. Perlahan, mereka bangkit. Sekarang desa ini dikenal dengan nama Balongsari. Wajahnya sudah jauh berbeda.

Sekolah-sekolah berdiri dengan lebih layak, anak-anak tak lagi takut untuk belajar. Banyak dari mereka melanjutkan pendidikan ke kota, bahkan ada yang jadi guru, perawat, hingga pegawai negeri.

Baca Juga:Cuaca Tidak Normal,  Bekasi Bagian Selatan Dilanda Hujan Badai Saat Musim KemarauShell Galuh Mas Karawang, SPBU Asik Buat Isi Bensin Cepat dan Praktis!

Generasi mudanya mulai berpikir lebih terbuka, aktif di media sosial, dan punya mimpi yang melampaui batas sawah desa. Ada juga yang merantau, membawa nama Balongsari ke luar daerah.

Kini, wajah desa ini telah berubah. Jalanan yang dulu berbatu kini beraspal, sinyal internet mulai menjangkau rumah-rumah, dan anak-anak desa lebih akrab dengan ponsel pintar daripada permainan tradisional. Tapi di balik modernisasi itu, jiwa gotong royong masih hidup meski dalam wujud yang berbeda.

0 Komentar