Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama.
Tugas ini diembannya sejak 19 Agustus 1945, di tengah situasi politik yang belum stabil. Bahkan ketika ibu kota berpindah ke Yogyakarta pada masa revolusi, ia tetap memimpin Mahkamah Agung dengan menjaga marwah lembaga peradilan.
Salah satu momen penting adalah saat ia menolak intervensi Presiden Soekarno dalam kasus penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada 1946. Penolakannya menjadi pernyataan tegas bahwa lembaga kehakiman harus berdiri independen, tidak tunduk pada kekuasaan politik.
Baca Juga:Cari Rumah Sakit Profesional dan Nyaman Buat Kamu dan Keluarga? RS Dewi Sri Karawang Solusinya!RS Rosela Karawang: Rumah Sakit Swasta yang Lengkap dan Siap Jadi Tempat Kamu Berobat
Menolak Tawaran Belanda dan Peran dalam Diplomasi
Tahun 1947, Belanda mencoba melemahkan posisi Republik dengan menawarkan jabatan Wali Negara Pasundan dan Ketua Mahkamah Agung versi mereka kepada Kusumah Atmadja.
Tawaran ini ditolaknya mentah-mentah, sebuah keputusan yang memperlihatkan komitmen total kepada kemerdekaan.
Selain itu, ia juga berperan sebagai penasihat dalam perundingan Linggarjati dan Konferensi Meja Bundar, dua momentum diplomasi penting yang menentukan pengakuan kedaulatan Indonesia di mata dunia.
Pengabdian di Dunia Pendidikan
Kusumah Atmadja percaya bahwa kemajuan hukum tidak hanya bergantung pada lembaga peradilan, tetapi juga pada pendidikan.
Ia mengajar di Sekolah Tinggi Kepolisian (1946–1949), menjadi Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, serta mengajar di Universitas Gadjah Mada. Melalui ruang kuliah, ia menanamkan prinsip keadilan kepada generasi baru penegak hukum.
Akhir Hayat dan Gelar Pahlawan Nasional
Pada 1 Januari 1950, Mahkamah Agung kembali ke Jakarta dan ia tetap menjabat sebagai ketua hingga wafat pada 11 Agustus 1952. Ia dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.
Tahun 1965, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional melalui SK Presiden No. 124 Tahun 1965.
Baca Juga:RS Permata Keluarga Galuh Mas, Tipe C , 8 Lantai dan 105 Tempat Tidur PasienAkhir Pekan Belum Punya Tujuan? Inilah 5 Hidden Gems Purwakarta yang Tersembunyi dan Adem
Namanya kini diabadikan sebagai nama jalan di Purwakarta, menghubungkan pertigaan Jl. Laksamana R.E. Martadinata hingga Jl. Jenderal Ahmad Yani.
Makam keluarganya berada di Makam Kaum Purwakarta, yang dibeli oleh putranya, Prof. Dr. Zaenal Asikin Kusumaatmadja, S.H.
Warisan yang Tetap Hidup
Kusumah Atmadja bukan hanya Ketua Mahkamah Agung pertama. Ia adalah simbol keberanian, integritas, dan dedikasi penuh terhadap hukum. Dari Purwakarta hingga panggung nasional, ia menunjukkan bahwa seorang hakim sejati adalah mereka yang mampu berdiri tegak di tengah badai politik, demi memastikan keadilan berjalan bagi semua.