Mengulur Waktu, Menebus Dosa di Jalur Laut Utara

otak jawara
Perahu nelayan Tangkolak di Gugus Karang Sendulang melintasi modul-modul paranje Otak Jawara.
0 Komentar

KBEonline.id – Nanang kecil duduk di samping ayahnya. Matanya setengah terpejam. Satu tangannya meraba selang kompresor yang dingin, tangan yang lain berpegangan ke dinding kayu perahu. Hari itu, untuk pertama kalinya Nanang diajak ayahnya bersama para kuli angkut. Nanang melihat orang dewasa mencari uang dengan berlayar lima hingga sepuluh kilo meter meninggalkan daratan menuju Gugus Terumbu Karang Sendulang. Mereka berburu ikan hias, memecah karang hidup dan bertaruh nyawa menyelami Laut Jawa, tempat ombak menjelma pusara yang penuh harta karun kapal tenggelam.

Di subuh yang rawan kabut itu, di muara Tangkolak, mesin perahu-perahu nelayan dibunyikan pendek, sekadar salam pada laut. Dari arah timur laut, matahari mulai naik. Fajar tiba, kusam pasir pantai menjelma kilau tembaga pucat, berkilat samar serupa kaca tipis yang terlapisi embun. Laut Jawa membentang, terbagi menjadi dua lapis warna, cokelat keruh yang kaya sedimen dan biru kehijauan yang menyembunyikan bangkai kapal, terumbu karang, dan rahasia Dewi Lanjar. Di atasnya perahu-perahu kecil bergerak pelan memecah gelombang, sebagian menunggu arus. Sbagian nelayan baru mengangkat kompresor angin ke geladak perahu sebagai ganti tabung oksigen.

“Saya baru lulus SD,” kenang Nanang Sai, lelaki yang lahir tahun 1975 dan kini genap berusia 50 tahun. “Masa itu saya masih bantu-bantu ayah jadi kuli angkut karang. Ada yang mau bangun rumah, butuh pondasi, kalau dihitung saat ini, diupah sekitar lima puluh ribu,” kenang Nanang yang tengah berdiri menghadap laut dari markas Pandu Alam Sendulang (PAS), Senin (8/9/2025).

Baca Juga:DPRD: RSUD Rengasdengklok Kado Spesial HUT Karawang Buat MasyarakatHUT Karawang ke-392 Tahun, In Pesan dan Harapan Anggota DPRD Jabar H Jenal Aripin…

Ia masih ingat jelas, di masa itu hampir semua rumah di Dusun Tangkolak, Desa Sukakerta, Kecamatan Cilamaya Wetan, berdiri di atas pondasi batu karang. Bukan karena gaya, melainkan karena kebutuhan, dan sudah dilakukan sejak dulu.

“Akses jalan dulu jelek, batu kali susah didapat. Jadi kami pakai batu karang. Katanya kuat,” ujarnya. Karang-karang besar di dasar laut dangkal diambil pakai linggis, menyelam manual tanpa alat, kadang bernapas dengan kompresor angin hasil modifikasi turun temurun bila air laut sedang naik.

0 Komentar