KBEonline.id- Puluhan pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Parlemen Pemuda dan Mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa menuntut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi serta DPRD setempat menghentikan praktik tunjangan-tunjangan mewah bagi pejabat.
Koordinator aksi, Jaelani Nurseha, menilai pemberian fasilitas berlebih bagi pejabat kontras dengan kondisi masyarakat yang tengah kesulitan.
Ia menyebut, angka pengangguran di Bekasi masih tinggi meskipun wilayah ini dikenal sebagai kawasan industri terbesar di Asia Tenggara.
Baca Juga:Tiap RW di Bekasi akan Dibekali HT untuk Koordinasi KeamananMulai 2026, Disdikpora Karawang Punya Bidang Baru Sarpras
“Rakyat kita kesulitan, pengangguran merajalela, fasilitas kesehatan belum memadai. Tapi pejabat-pejabat hanya menikmati fasilitas mewah,” tegas Jaelani dalam orasinya.
Menurutnya, Kabupaten Bekasi dengan jumlah penduduk lebih dari tiga juta jiwa hanya memiliki 51 puskesmas. Hal ini membuat banyak warga terlantar saat mencari layanan kesehatan.
“Tidak sedikit rakyat kita dibiarkan mati pelan-pelan di tengah kota industri,” ujarnya.
Jaelani juga menyoroti buruknya infrastruktur dan persoalan banjir yang terus berulang setiap tahun.
Ia menilai tata kelola pembangunan di Bekasi lebih banyak berpihak pada kepentingan proyek pejabat daripada kesejahteraan rakyat.
“Bukan soal penertiban bangunan liar, tapi soal sistem dan tata ruang Kabupaten Bekasi yang harus segera dibenahi,” katanya.
Dalam aksinya, para mahasiswa menyerukan agar seluruh lapisan masyarakat ikut serta menyuarakan keresahan rakyat.
Baca Juga:Paranje Tangkolak, Kesadaran Puluhan Pemuda untuk Merawat dan Meruwat Dasar Laut CilamayaMalu-maluin! Mantan Menantu di Bekasi Ketahuan Curi Motor Mertuanya Sendiri
Mereka menegaskan akan terus bergerak hingga Pemkab Bekasi benar-benar memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
“Bekasi disebut bangkit, maju dan sejahtera, tapi faktanya jauh dari itu. Kalau tidak segera ada perbaikan, kami tidak akan berhenti di sini. Pemuda dan mahasiswa akan terus berjuang,” tutup Jaelani.
Kritik mahasiswa menyoroti bahwa polemik tunjangan yang diatur dalam Peraturan Bupati nomor 11 tahun 2024 yang mencerminkan praktik budgetary politics di mana elite legislatif dan eksekutif cenderung mengamankan kepentingan mereka sendiri melalui alokasi anggaran.
Akibatnya, ada ketidakseimbangan dalam proses penganggaran yang berujung pada kerugian publik.
“Meski sebagian kritik publik terhadap Perbup ini berangkat dari data yang keliru, substansi kritiknya tetap relevan. DPRD harus hadir langsung di lapangan, melihat kondisi rakyat, bukan sekadar duduk menerima tunjangan,” tambah Jaelani.