Situasi ini tidak pernah diselesaikan oleh negara secara tuntas dan adil. Yang membuat rakyat marah, mereka menyelesaikan dengan cara mengusir dan merepresi rakyat.
Ketiga, peningkatan dan akumulasi konflik agraria. Dalam 10 tahun terakhir KPA mencatat sedikitnya terjadi 3.234 letusan konflik agraria dengan luasan mencapai 7,4 juta hektar.
Korban terdampak dalam konflik agraria ini sebanyak 1,8 juta keluarga. Kesemuanya disebabkan oleh operasi bisnis perkebunan, kehutanan, tambang, PSN, pertanian skala besar (food estate), kawasan bisnis dan perumahan mewah.
Baca Juga:Perkuat Komitmen di Dunia Vokasi, Honda Kembali Resmikan Pos AHASS TEFA di SMK Rosma Karawang7 Taman Keren di Karawang, Cocok untuk Liburan Asyik Keluarga dan Pacar
Bahkan dalam tiga bulan pasca pelantikan Presiden Prabowo, terjadi 63 letusan konflik agraria, ini adalah bukti nyata dari cara pembangunan pemerintah yang masih bersandar pada perampasan tanah rakyat atas nama investasi dan korporasi besar yang ‘lapar tanah’.
Dampak negatif lainnya dari pembiaran konflik agraria adalah hak atas pendidikan, kesehatan, pangan dan layanan dasar lainnya, sebab para korban konflik terpaksa memutus sekolah anak, mengesampingkan kebutuhan kesehatan, termasuk diskriminasi layanan program pembangunan jika desa tetap diklaim sebagai kawasan hutan atau perkebunan.
Keempat, peningkatan represifitas POLRI-TNI. Tugas utama aparat adalah melayani dan melindungi dari ancaman, bahaya dan serangan terhadap rakyat dan Bangsa Indonesia.
Sayangnya kedua lembaga keamanan ini malah digunakan oleh pengusaha dan pemerintah sebagai penjaga bisnis di sektor agraria. Akibatnya 2.481 orang dikriminalisasi, 1.054 orang menjadi korban kekerasan, 88 orang tertembak dan 79 orang tewas hanya karena mempertahankan tanahnya.
Masalah ini tidak lepas dari pilihan pendekatan legalistik dan represif TNI-POLRI di lokasi konflik agraria. Misalnya masih hangat dalam ingatan kita bagaimana TNI-POLRI dan juga preman perusahaan dikerahkan untuk merepresi dan menangani konflik agraria PTPN di Aceh Utara, PT. TPL di Toba-Sumut, PT. WKS di Tebo-Jambi, Bank Tanah di Cianjur-Jabar, PT. Krisrama di Sikka-NTT, PTPN di Takalar-Sulsel, Food Estate di Merauke-Papua Selatan.
Kelima, Kementerian/Lembaga menjadi pelestari Konflik Agraria. Menteri ATR/BPN, Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Kelautan, Menteri BUMN dan Menteri Desa telah menjadi sumber konflik agraria lama maupun konflik agraria baru.
Bahkan mereka tidak pernah membahas bagaimana cara menyelesaikan ribuan konflik agraria di perkebunan swasta, BUMN, Kehutanan, Tambang dan Pesisir-Pulau-Pulau Kecil, dengan cara yang cepat, tepat, berkeadilan dan terkoordinasi.