KBEOnline.id – Bully adalah salah satu game paling berkesan dari Rockstar Games yang dirilis pertama kali pada 2006 untuk PlayStation 2. Game ini masih diingat hingga sekarang karena menawarkan pengalaman berbeda dengan latar sekolah yang unik, karakter-karakter ikonik, serta gameplay open-world khas Rockstar. Namun, di balik keberhasilannya, ternyata pengembangan game ini penuh kontroversi dan cerita pahit dari para pengembangnya.
Budaya Crunch dalam Pengembangan Bully
Dalam wawancara dengan majalah Retro Gamer, Andrew Wood, mantan Environment Artist Rockstar, membongkar fakta mengejutkan seputar proses pembuatan Bully. Ia menggambarkan masa tersebut sebagai campuran antara rasa bangga sekaligus tekanan luar biasa.
Menurut Andrew, suasana studio ketika itu dipenuhi semangat dan kreativitas, tetapi juga sangat keras. Ia menyebut banyak karyawan mengalami kelelahan ekstrem hingga konflik internal akibat jam kerja panjang yang berlangsung terus-menerus. Praktik ini kini dikenal luas sebagai “crunch culture” dalam industri game.
Baca Juga:YouTuber Alami Masalah, Galaxy Ring Baterainya Bengkak Sampai Tak Bisa DicopotCantiknya Ella Freya Saat Kulineran di Indonesia Pakai Batik Tradisional
Tekanan Mental dan Konflik Internal
Wood menjelaskan bahwa kondisi kerja membuat banyak karyawan kehilangan keseimbangan hidup. Mereka kerap harus lembur hingga 18 jam per hari, 7 hari seminggu, apalagi menjelang perilisan. Bahkan waktu makan siang dan malam dihapuskan agar para pegawai tidak meninggalkan kantor, dengan katering disediakan langsung di tempat kerja.
Hal ini berujung pada meningkatnya stres, konflik antar tim, hingga kasus mental breakdown di kalangan developer. “Beberapa orang benar-benar kalut, dan sulit sekali bekerja di lingkungan seperti itu,” kata Wood.
Studio Terasa Seperti Penjara
Dengan tekanan yang begitu berat, Andrew Wood mengibaratkan suasana studio saat itu layaknya “penjara”. Para pengembang nyaris tidak punya ruang untuk beristirahat, bahkan aktivitas pribadi pun sangat terbatas. Kondisi inilah yang kemudian memicu burnout berkepanjangan.
Namun, meski pengalamannya penuh tekanan, Wood tetap mengaku bangga bisa menjadi bagian dari tim pengembang Bully. “Aku mencintai game itu. Dua puluh tahun kemudian, orang-orang masih mengingat Bully. Itu membuat semua pengorbanan terasa berharga,” ujarnya.