Berjumpa Pemimpin Legendaris Amazon
Pertemuan di Desa Mupa tidak hanya berakhir pada diskusi. Anak-anak muda itu merancang aksi nyata yang akan mencuri perhatian dunia saat COP 30 berlangsung.
“Di COP 30 kami berusaha merebut ruang dan perhatian media dengan menggelar aksi ‘keributan’ yang ramai dan kreatif. Misalnya, fashion show yang memamerkan baju adat atau pakaian yang mewakili wilayah masing-masing.
Kalau aksi tersebut tampak bagus secara visual dan narasi, pasti kami bisa merebut perhatian media. Sementara itu, untuk melibatkan massa lebih besar, ada gagasan untuk menggelar long march, sekaligus mengangkat isu yang sedang terjadi di Brazil,” ungkap Momo.
Baca Juga:Timnas Indonesia Punya Catatan Buruk Lawan Irak, Tapi Keajaiban Selalu Ada di Lapangan Hijau Lengkap dan Murah! Ini Alasan Pustaka 2000 Jadi Langganan Warga Perumnas Karawang
Strategi ini diambil karena ruang formal di forum global seringkali terbatas untuk masyarakat sipil. Aksi kreatif dianggap sebagai cara efektif untuk menarik sorotan media dan membuka akses ke meja perundingan.
Pertemuan di Desa Mupa terasa lengkap dengan kehadiran Chief Raoni Metuktire, pemimpin legendaris masyarakat adat Kayapo. Sosok berkarisma ini dikenal sebagai salah satu tokoh utama yang memperjuangkan hutan Amazon selama puluhan tahun.
“Desa Mupa yang menjadi tempat tinggalnya sering digunakan sebagai tempat pertemuan para aktivis dan pemuka masyarakat adat di Brazil, juga tempat konsolidasi gerakan. Cucunya pun bagian dari gerakan ini. Itulah kenapa kami bisa berkumpul di sini,” tambah Momo.
Ketika Chief Raoni hadir, semua peserta berhenti beraktivitas untuk mendengarkan pesannya. Bagi mereka, kehadirannya adalah simbol kesinambungan perjuangan lintas generasi.
Selain pemimpin adat, pertemuan juga melibatkan seorang shaman, sebagai bagian dari upaya menjaga well-being (lahir batin) peserta berdasarkan tradisi dan kearifan lokal di sana. Bagi sebagian peserta, hal ini bukan sekadar simbol, melainkan bagian integral dari gerakan.
Suara yang Menolak Menyerah
Bagi Momo, pengalaman di Mato Grosso adalah salah satu konsolidasi paling berkesan yang pernah ia ikuti.
“Bisa merasakan sekali kedekatan dengan alam sekitar, menikmati pepohonan dan burung-burung. Bisa melihat sungai dengan air mengalir, dan merasakan bahwa ini, lho, yang kita perjuangkan. Kaki benar-benar merasakan tanah berdebu yang dipijak, karena berjalan tanpa alas kaki. Diskusi jadi makin semangat, karena alam yang kita perjuangkan terhampar di depan mata,” kata Momo penuh antusiasme.