Mengulur Waktu, Menebus Dosa di Jalur Laut Utara

Otak Jawara
Perahu nelayan di Dusun Tangkolak melintasi Gugus Terumbu Karang Sendulang, tempat paranje Otak Jawara ditanam.
0 Komentar

“Lokasinya jauh dari terumbu karang, saya pernah menemukan koin, dan gerabah. Saat itu, saya menyelam dengan kompresor angin tambal ban. Ekonomi belum memungkinkan pakai alat lebih aman. Itu sangat berbahaya, dan bisa merusak tubuh,” kata Dama.

Apa yang membuat Otak Jawara menarik bukan semata modulnya, melainkan cara ia menyusun ulang hubungan manusia dan terumbu karang. Para nelayan yang dulu menyelam dengan kompresor kini belajar menyelam aman, bersertifikat, bertahap, dan beralih menjadi pemandu transplantasi, penjaga monitoring, bahkan bercita-cita membangun Tangkolak sebagai wisata edukasi. Dari kompresor yang menyalurkan udara kotor, menuju regulator dan prosedur keselamatan, dari linggis dan palu, menuju kabel ties dan lem, dari angkat menjadi tanam.

“Kalau dulu ada pencarian fragmen karang untuk dijual, sekarang kami memilahnya untuk ditanam. Rasanya beda,” kenang Dama.

Baca Juga:MUI Karawang Kecam Tayangan Trans7 yang Dinilai Keliru Gambarkan Tradisi PesantrenDPRD Karawang Bakal Panggil RS Hastien Senin Depan Terkait Dugaan Malpraktik

Ahli terumbu karang dari PPLH IPB, Dr. Ir. Wazir Mawardi, M.Si, yang turut terlibat dalam gerakan ini, menyampaikan bahwa gagasan paranje bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Teknik transplantasi tersebut sudah lama diperkenalkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga pernah mengeluarkan model yang sejenis.

Namun, Wazir mengingat kembali pengalaman awalnya melakukan transplantasi terumbu karang. Model-model lama, misalnya rak paralon atau modul berbentuk kotak dengan ketebalan tipis seperti papan, kerap kalah oleh arus dan sedimen.

“Kalau pakai plastik, dua-tiga tahun getas, patah. Kalau rak, umurnya pendek, ombak menghempas, mudah hancur,” kata Wazir, Minggu (15/6/2025).

Wazir menjelaskan, dari pengalaman itu, lahirlah desain paranje. Kuncinya ada pada substrat keras dari beton yang bisa menahan arus, sekaligus bentuk yang memudahkan mobilisasi.

“Kita pilih bulat. Di darat bisa digelindingkan, tidak perlu diangkat. Saat diturunkan di laut juga lebih mudah diatur posisinya. Permukaannya pun sengaja dibuat cembung. Kalau permukaannya datar, lumpur gampang menumpuk. Tapi kalau cembung, arus bisa menyapu. Itu idenya,” kata Wazir.

Paranje dibuat denga sederhana. Cetakannya berasal dari karung terpal yang dilapisi semen setebal lima sentimeter, membentuk modul dengan diameter lima puluh hingga enam puluh sentimeter. “Kecil tapi kokoh,” tambahnya.

0 Komentar