Karang-karang besar di dasar laut dangkal diambil pakai linggis, menyelam manual tanpa alat, kadang bernapas dengan kompresor angin hasil modifikasi turun-temurun bila air laut sedang naik.
“Enggak terlalu dalam, rata-rata satu meter, kalau air naik, kadang empat meter. Sekali turun bisa dapat tiga sampai empat kubik. Sebelum perahu tenggelam oleh beban, kami terus angkut. Itu sudah jadi kerjaan sehari-hari. Saya ikut jadi kuli angkut karang, dari masih kecil. Keluarga saya kurang mampu, apa saja asal jadi uang,” tambah Nanang, sedikit tertawa.
Nanang sendiri sempat merasakan sulitnya menyelam dengan alat seadanya. Kompresor tambal ban, dengan selang panjang dan corong mulut, dipakai untuk menyuplai udara selama berada di bawah air.
Baca Juga:MUI Karawang Kecam Tayangan Trans7 yang Dinilai Keliru Gambarkan Tradisi PesantrenDPRD Karawang Bakal Panggil RS Hastien Senin Depan Terkait Dugaan Malpraktik
“Itu susah dipakai. Kalau tekanannya kurang, kita bisa kehabisan napas. Saya paling berani empat meter, kuping saya sakit. Tapi ada yang sampai puluhan meter. Banyak yang pingsan, ada yang kram hingga meninggal,” ujarnya.
Seiring waktu, lanjut Nanang bercerita, kabar lain datang entah dari mana. Bukan hanya untuk karang, kompresor itu membuka jalan pada pola baru, perburuan harta karun. Seperti api kecil di malam gelap, kabar tentang peti koin, fragmen keramik, dan emas yang ditemukan di dasar laut saat berburu karang, menyebar dengan cepat. Tangkolak mendadak dikenal sebagai kuburan kapal, tiba-tiba jadi magnet.
Pemburu harta karun berdatangan dari berbagai daerah, menempuh perjalanan puluhan hingga ratusan kilometer mencari titik-titik Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT).
“Mereka juga sama, pakai kompresor angin. Bisa menyelam hingga puluhan meter. Warga ikutan berburu juga, tapi jaraknya jauh, di tengah,” terang Nanang sembari menunjuk ke arah laut.
“Pemburu harta biasanya berkelompok di satu kapal. Bisa lima orang, atau empat orang, menyelam seharian sampai malam,” tambah Nanang.
Beberapa nelayan, Nanang mengerutkan mata, pernah menepikan perahunya di muara pada malam yang lengang. Saat sesuatu diturunkan dari perahu, terdengar suara logam beradu, samar tertelan oleh desiran angin dan riak air yang menabrak tiang bambu. Lampu petromaks yang tergantung di tepian bergoyang diterpa angin, cahayanya memantul pada wajah para lelaki yang setengah percaya, setengah takut. Nanang terdiam sebentar, lalu menambahkan dengan suara yang lebih rendah.