Mengulur Waktu, Menebus Dosa di Jalur Laut Utara

Otak Jawara
Perahu nelayan di Dusun Tangkolak melintasi Gugus Terumbu Karang Sendulang, tempat paranje Otak Jawara ditanam.
0 Komentar

Lambat laun, kebiasaan sederhana itu berubah menjadi mata pencaharian. Semakin banyak warga yang mencungkil karang-karang unik, ada pula yang beralih menjadi pengepul. Karang tak lagi sekadar penghias rumah, melainkan dikirim ke luar kota. Dari Tangkolak, karang menempuh perjalanan jauh ke Jakarta, dipasarkan sebagai hiasan rumah dan pelengkap akuarium.

“Saya dulu jadi anak buah kapal pengepul karang, pernah ikut menyongkel. Di sini ada yang nampung, lalu dijual ke Jakarta. Banyak yang minta terumbu karang yang unik-unik untuk hiasan akuarium. Dulu belum ada larangan. Karang melimpah, yang hidup, yang mati, semua laku dijual ke pengepul. Itu jadi pendapatan baru,” kenang Nanang.

Seingatnya, hingga akhir tahun 1990-an, puluhan, mungkin ratusan kubik karang di perairan Tangkolak telah dikeruk. Hampir semua nelayan pernah ikut, meski hanya sekali atau dua kali.

Baca Juga:MUI Karawang Kecam Tayangan Trans7 yang Dinilai Keliru Gambarkan Tradisi PesantrenDPRD Karawang Bakal Panggil RS Hastien Senin Depan Terkait Dugaan Malpraktik

“Dulu saya pernah berangkat beberapa kali ke Jakarta. Ada orang di sini yang nampung, setelah banyak baru dijual. Berapa harga pastinya saya kurang tahu.”

Saat itu yang tertinggal di Tangkolak bukan sekadar uang dari hasil jual karang, melainkan juga jejak luka di tubuh laut. Dasar perairan yang dulu rapat oleh gugusan karang perlahan berubah penuh lubang, ikan-ikan yang biasa bersembunyi kehilangan rumah, dan arus membawa pasir menimbun bekas congkelan.

Namun apa yang terjadi di Tangkolak hanyalah potongan kecil dari arus besar yang melanda dunia pada dekade 1980 hingga 1990-an. Saat itu, hobi akuarium laut tumbuh pesat di kota-kota besar dunia. Permintaan karang hidup, ikan hias, dan batu karang yang masih ditumbuhi organisme melonjak drastis.

Indonesia pun terseret deras ke dalam arus itu. Dari ujung timur hingga barat nusantara, karang hidup diangkat, dikemas dalam boks stirofoam, lalu diterbangkan ke berbagai negara. Di Karawang, patahan- patahan karang yang semula hanya digantung di pintu rumah atau ditanam di pekarangan, tiba-tiba punya harga di pasar global.

Fenomena ini bukan hanya cerita kampung. Dalam sebuah esai penting berjudul “The New Threat to Coral Reefs: Trade in Coral Organisms” yang diterbitkan di Issues in Science and Technology (2000), ilmuwan karang Andrew W. Bruckner menunjukkan bagaimana Indonesia menempati pusat pusaran perdagangan ini.

0 Komentar