Mengulur Waktu, Menebus Dosa di Jalur Laut Utara

Otak Jawara
Perahu nelayan di Dusun Tangkolak melintasi Gugus Terumbu Karang Sendulang, tempat paranje Otak Jawara ditanam.
0 Komentar

Data-data ini memberi jejak ilmiah pada apa yang sebelumnya hanya bisik-bisik nelayan dan catatan Ade. Tangkolak bukan hanya menyimpan karang, melainkan juga menyimpan luka eksploitasi yang besar.

COVID-19 melanda, membawa keheningan aneh di pesisir Tangkolak. Perahu-perahu lebih jarang berangkat, jalan kampung terasa lengang. Warung kopi yang biasanya ramai dangdut koplo dari pengeras suara portabel, mendadak sunyi. Nelayan menatap laut dengan cemas, bukan hanya takut penyakit, tapi juga takut lapar. Laut seperti mendapat kesempatan untuk bernapas.

Di rumah-rumah kecil yang menempel di sekitar bibir pantai, keheningan itu justru memekakkan telinga. Bagi Iswatun Hasanah (37), istri dari salah satu nelayan yang kemudian menjadi bagian dari PAS, pandemi adalah dilema hidup-mati tanpa pilihan.

Baca Juga:MUI Karawang Kecam Tayangan Trans7 yang Dinilai Keliru Gambarkan Tradisi PesantrenDPRD Karawang Bakal Panggil RS Hastien Senin Depan Terkait Dugaan Malpraktik

“Kalau suami enggak melaut, ya kami enggak bisa makan, di-lockdown mati, enggak di-lockdown juga mati,” kenang Iswatun, Kamis (9/10/2025).

Saat itu, ia harus memastikan dua putranya, yang kini sudah berusia kelas satu SMA (Sekolah Menengah Atas) dan kelas satu SD, untuk tetap bisa hidup. Bahkan, saat ia dan suaminya terserang COVID-19, mereka tetap beraktivitas, dengan keyakinan kuat bahwa air laut bisa menjadi penawar virus.

“Katanya air laut bisa menetralkan, makanya kami ke laut, sambil mandi, pulang bawa air laut, diminum sedikit, setengah gelas saja, buat terapi,” ujarnya.

Iswatun ingat masa-masa sebelum konservasi terumbu karang berlangsung. Pada tahun 2008 saat ia menikah dengan suaminya yang sudah melaut sejak usia dua belas tahun. Risiko menjadi istri nelayan adalah keniscayaan yang harus dipikul sejak awal.

“Pernah punya masalah ekonomi, waktu itu, sampai enggak pegang uang sepeser pun,” katanya.

Iswatun mengingat masa awal pernikahan pada tahun 2009 silam, saat penghasilan suami di bawah Rp50.000, bahkan kadang hanya Rp20.000 per hari.

“Sedih banget, baru nikah, terus ikan susah. Tak pegang uang sama sekali bukan cuma sekali atau dua kali,” tambah Iswatun.

Baca Juga:Dugaan Malpraktik RS Hastien Diadukan ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, Ketua DPRD: Kita Panggil Pihak RSPHE ONWJ Tandatangani Perjanjian Jual Beli Gas dengan PT Energi Nusantara Perkasa

Untuk menopang ekonomi, Iswatun sendiri ikut turun tangan. Ia mencari nafkah sebagai kuli jahit bubu rajungan, jaring perangkap kecil untuk menangkap rajungan. Pekerjaan itu tidak rutin, tapi setiap satu bubu yang ia jahit dihargai lima ribu rupiah. Uang yang masuk tidak selalu cukup.

0 Komentar