KARAWANG- Menghadapi krisis fiskal APBD 2026 dampak dipotongnya dana transfer pusat ke daerah, membuat beban belanja pegawai yang presentasenya di postur APBD sangat besar kian tersorot. Dari empat kabupaten/kota yakni Karawang, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi dan Purwakarta, hanya Pemkab Karawang yang belanja pegawainya diproyeksikan sudah di angka 28 persen atau di bawah 30 persen.
Sedangkan Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi hingga Purwakarta beban belanja pegawai masih di atas 40 persen dari total APBD. Pemkot Bekasi misalnya. Beban belanja pegawai hampir menyentuh 45 persen APBD.
“Belanja pegawai kita ini memang cukup luar biasa, hari ini sudah mendekati 45%. Angka itu belum termasuk rekan-rekan honorer yang nasibnya tengah kita perjuangkan menjadi PPPK,” ujar Tri.
Baca Juga:Progres Pembangunan Kantor Kelurahan Jatimulya – Tambun SelatanEUWEUH KAPAUR, Jatah Tiket untuk Tim Tamu di Stadion MBPJ Selangor Sudah Ludes Diborong Bobotoh
Jika proses konversi ini terwujud, status pembayaran honor mereka yang semula masuk dalam pos belanja jasa akan beralih ke pos belanja pegawai.
“Kalau ini sudah masuk ke dalam belanja pegawai, tentu nanti hampir 50% APBD kita dipakai untuk pembayaran pegawai,” tambahnya.
Sedangkan Kabupaten Bekasi beban belanja pegawainya menyentuh angka 41 persen. Peneliti Kebijakan Publik IDP-LP, Riko Noviantoro, menyoroti tingginya biaya belanja pegawai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi yang mencapai lebih dari 40 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 sebesar Rp8,3 triliun.
“Kabupaten Bekasi dengan kondisi yang sekarang 41 persen belanja rutin, maka tersisa kurang dari 60 persen yang harus dibagi untuk kegiatan non rutin (pembangunan). Itu jelas tidak memadai, idealnya 30 persen untuk belanja pegawai (rutin), 70 persen untuk kegiatan non rutin. Itu pun maaf, kalau belum di korup anggarannya,” jelas Riko.
Sementara di Kabupaten Purwakarta, beban belanja pegawai masih di angka 41,3 persen. Ketua PMII Purwakarta, Ali Akbar, menuding ambisi Pemkab dalam menggelontorkan anggaran untuk birokrasi menjadi pemicu krisis. Ia bahkan menyebut kondisi ini sebagai bentuk “kejahatan anggaran terselubung.
“Ini bukan ketimpangan, ini pengkhianatan terhadap Undang-Undang. UU HKPD jelas membatasi belanja pegawai maksimal 30 persen. Purwakarta melanggar batas itu, dan ini0 menunjukkan prioritas biadab yang menempatkan kesejahteraan elit birokrasi di atas kebutuhan dasar rakyat miskin,” tegasnya. (bbs/mhs)
