KBEONLINE.ID – Esai ini membahas hubungan antara masyarakat Cirebon dan keraton sebagai pusat budaya, sekaligus mengulas mengapa pengaplikasian budaya Cirebon tidak sekuat atau seistimewa Yogyakarta dalam hal pelestarian nilai luhur.
Penulis menyoroti bahwa kearifan lokal Cirebon sebenarnya menjadi daya tarik masyarakat. Terutama lewat seni seperti musik tarling, sandiwara, dan figur publik asal daerah tersebut. Namun, menurut penulis, warga Cirebon cenderung hanya menikmati budaya pada level permukaan—sebagai adat dan tradisi semata—tanpa memahami nilai filosofis yang seharusnya diwariskan oleh keraton.
Penulis menilai keraton sebagai otoritas budaya, mestinya lebih proaktif memberikan pendidikan budaya kepada masyarakat. Mengandalkan pemerintah dianggap kurang efektif karena bukan bagian langsung dari tubuh budaya Cirebon. Untuk memahami problem ini, esai masuk ke tinjauan sejarah.
Baca Juga:Duel Sengit Liga 2: PSPS Pekanbaru Tahan Bekasi City 0-0, Papan Tengah Makin Panas!Wanita Istimewa Ep. 92: Suapan Manis Mirsa Bikin Reza Luluh, Tapi Rahasia Radit Mengintai!
Setelah Indonesia merdeka, kerajaan-kerajaan di Nusantara diminta bergabung. Di Cirebon, Keraton Kanoman sempat menolak karena khawatir tanahnya akan menjadi milik negara. Setelah negosiasi dengan Soekarno, Sultan Nurus akhirnya menyerahkan simbol kekuasaan. Namun, hubungan antar-keraton (Kanoman, Kesepuhan, Keprabonan, Kacirebonan) tidak solid, dan adanya perbedaan sikap membuat Cirebon tidak diangkat menjadi daerah istimewa seperti Yogyakarta.
Berbeda dari Cirebon, Sultan Hamengkubuwono IX di Yogyakarta sejak awal mendukung Indonesia tanpa syarat. Ia bahkan menyerahkan sumber daya keraton demi membantu negara. Sikap tanpa pamrih itu menjadi dasar pengakuan status keistimewaan Yogyakarta, sekaligus memperkuat kesinambungan budaya mereka.
Pemimpin di Yogyakarta berasal dari garis yang sama, sehingga nilai budaya mengalir konsisten. Sementara di Cirebon, pergantian walikota dan lemahnya otoritas keraton menyebabkan identitas budaya mudah tergeser oleh budaya luar. Bahasa juga menjadi indikator: orang Yogya menggunakan kromo inggil, sedangkan masyarakat Cirebon banyak meninggalkan bahasa bebasan yang menjadi identitas daerah.
Dari sisi politik, esai membahas upaya keraton Cirebon membangun kembali pengaruhnya melalui demokrasi modern; misalnya dengan mengirim abdi dalem sebagai pejabat daerah. Tindakan ini menuai pro-kontra. Yang pro melihatnya sebagai hak orang Cirebon untuk dipimpin oleh bangsawan lokal. Yang kontra mengkhawatirkan lahirnya feodalisme baru akibat penggunaan gelar ratu, raden, atau elang dalam politik modern.
