KBEONLINE.ID – Di tengah hiruk-pikuk penataan birokrasi nasional, kebijakan mutasi wajib bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu muncul sebagai bom waktu bagi jutaan tenaga honorer yang baru saja meraih kepastian status. Bayarannya tetap, jam kerjanya setengah hari, tapi kini, setelah kontrak awal berakhir, siap-siap angkat kaki ke daerah lain jika instansi pusat memerlukannya. Kebijakan ini, yang diresmikan melalui Keputusan Menteri PAN-RB Nomor 16 Tahun 2025, bukan sekadar perubahan administratif, melainkan strategi pemerintah untuk merapikan distribusi pegawai yang selama ini timpang, terutama di wilayah terpencil yang kekurangan tenaga ahli.
Bayangkan seorang guru honorer di Jakarta yang akhirnya diangkat PPPK paruh waktu dengan gaji ditopang APBD dan BOSP, tiba-tiba harus merelakan kenyamanan kota metropolitan demi mengajar di pelosok Papua. Bukan skenario fiksi, tapi realitas yang menanti mulai Januari 2026. Menurut penjelasan resmi dari Kementerian PAN-RB, mutasi ini dirancang untuk efisiensi: memastikan pegawai ditempatkan di mana mereka paling dibutuhkan, bukan di mana mereka paling nyaman. “Ini bagian dari transformasi birokrasi modern, agar ASN lebih adaptif dan pemerataan sumber daya manusia berjalan lancar,” ujar Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Prof. Zudan Arif Fakrulloh, dalam konferensi pers akhir pekan lalu. Data BKN menunjukkan, saat ini ada lebih dari 1 juta PPPK paruh waktu yang baru diangkat sepanjang 2025, mayoritas dari kalangan honorer lama yang prosesnya dipercepat atas instruksi Presiden Prabowo Subianto agar selesai sebelum akhir tahun.
Namun, di balik janji efisiensi itu, ada cerita pilu yang mulai bergulir di kalangan pegawai. Seorang PPPK paruh waktu di Jawa Barat, yang enggan disebut namanya, berbagi kekhawatirannya via pesan singkat: “Saya sudah susah payah lolos seleksi, gaji naik sedikit, tapi sekarang harus siap pindah? Keluarga saya di sini, anak sekolah di sini. Ini seperti kontrak kerja yang bisa dibatalkan kapan saja.” Kekhawatiran serupa bergema di forum-forum online, di mana ratusan komentar menumpuk di bawah berita resmi. Yang lebih mengkhawatirkan, aturan ini menambahkan cambuk: evaluasi kinerja setiap 15 bulan—setara satu tahun tiga bulan—akan menentukan apakah kontrak diperpanjang atau status dinaikkan menjadi PPPK penuh waktu. Gagal? Bisa berujung pemutusan hubungan kerja, meski pemerintah menjamin tidak ada PHK massal seperti dulu.
