Lantas, apa pemicu kebijakan ini? Semua bermula dari Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023, yang membedakan tajam antara PPPK penuh waktu dan paruh waktu. Yang pertama punya hak mutasi lebih fleksibel—bahkan setelah enam bulan, seperti PNS—tapi paruh waktu terikat kontrak satu tahun dengan jam kerja hanya empat jam sehari. Mutasi bukan lagi hak, melainkan kewajiban instansi. Jika PPPK paruh waktu nekat mengajukan pindah sendiri ke instansi lain, konsekuensinya berat: dianggap mengundurkan diri secara otomatis. “Ini untuk mencegah kekacauan, tapi juga memaksa pegawai lebih siap beradaptasi,” tambah Zudan, yang menargetkan penataan ini selesai pada Desember 2025.
Pemerintah tak tinggal diam menghadapi keresahan. Surat Edaran Kemendagri Nomor 900.1.1227 Tahun 2025 menjamin gaji PPPK paruh waktu tetap aman melalui anggaran daerah, termasuk tunjangan kinerja yang disesuaikan. Peluang naik status ke PPPK penuh waktu juga terbuka lebar bagi yang berprestasi, dengan formasi khusus mulai 2026. Bagi instansi, ini berarti lebih mudah merekrut talenta tanpa beban anggaran penuh. Tapi bagi individu, ini ujian nyata: apakah siap meninggalkan zona nyaman demi kontribusi nasional? Di daerah seperti Papua Pegunungan, di mana kekurangan guru mencapai ribuan, kebijakan ini justru disambut gembira. “Akhirnya, kami tak lagi kesulitan tenaga pengajar,” kata seorang kepala dinas setempat.
Kebijakan mutasi wajib ini, meski kontroversial, mencerminkan visi birokrasi yang lebih dinamis di era Prabowo. Bukan akhir dari kepastian kerja, tapi awal dari fleksibilitas yang bisa membuka pintu karier lebih luas—jika pegawai mau berjuang. Saat pemerataan pegawai menjadi prioritas, pertanyaannya kini: siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan pindah? Jawabannya, mulai bergulir tahun depan.
