KBEONLINE.ID – Dikarang oleh Angga Putra Mahardika Mahasiswa KPI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
Chapter 1 – Gapapa
Aku selalu melihat Ayah pulang dengan mata ikan mati. Tangan selalu terbenam dalam-dalam di saku celana. Langkahnya pelan, seolah lantai rumah bisa retak kalau ia menginjak terlalu keras. Sebelum masuk kamar, ia meletakkan setumpuk uang lusuh di atas meja makan. Lalu pintu kamar dikunci. Tidur.
Setiap kutanya, “Ayah habis dari mana? Kenapa pulang malam terus?” Jawabannya selalu sama, suara serak seperti habis menelan debu: “Gapapa.”
Baca Juga:Vivo X300 Pro Resmi Meluncur di Indonesia: Kamera Zeiss 200MP yang Bikin Foto Pro, Saingi iPhone 17Surge WiFi: Internet Rakyat 1 Rupiah per Hari Resmi Meluncur, Saingan Starlink Makin Panas
Pagi-pagi sekali ia sudah pergi, ketika langit masih kelabu. Pulang ketika malam sudah lelah. Ia pernah berpesan, “Bertemanlah sama orang baik, jangan sama orang jahat.” Guruku di sekolah juga bilang begitu. Mungkin Ayah memang tak punya banyak kosa kata untuk anak semata wayangnya.
Kadang aku, Kadiman, duduk di teras sambil menjilat langit-langit mulut yang kering. Langit mengabu, kabut datang berduyun-duyun menutupi bumi sebentar, lalu pergi. Matahari tenggelam, langit berdarah di sekitar ufuk—merah menyala hingga orang-orang di jalan terdiam sejenak, kendaraan berhenti di tengah kemacetan yang tak pernah mati. Beberapa menit saja. Beberapa tarikan napas. Lalu langit menjadi ungu, kemudian hitam. Bulan mengambil alih tugas.
Orang-orang kantoran yang bergaji besar pulang, langsung masuk kamar, mengabaikan anak-istri yang menunggu. Orang-orang bergaji kecil lari ke kerja sampingan, menutup tagihan dan cicilan, ditelan kesibukan yang berulang setiap hari, tak pernah habis.
Begitu juga Ayah.
Malam itu napasnya cepat masuk-keluar, paru-parunya kembang-kempis. Di leher, lengan, dan alisnya berceceran cipratan kental berwarna merah. Bersama teman-temannya ia melakukan tugas yang mereka sebut “Bersih diri, bersih lingkungan”. Membersihkan najis dan kotoran, memasukkan ke plastik hitam besar, lalu mengangkutnya ke truk. Suara mesin truk tut-tut-tut, kadang tit-tit-tit. Orang-orang di warung mengira itu truk pengangkut sampah biasa.
Pekerjaan berat selesai, Ayah duduk di kabin depan, menjauh dari bak belakang. Sopir bertanya, “Kenapa selalu duduk di sini, Jasir?”
