“Kalau bisa sih 24 jam. Aksesnya enak, jadi walaupun pulang malam tetap ada kereta,” ucapnya.
Menariknya, ini bukan pengalaman pertamanya. “Ini udah kedua kali, tahun kemarin juga pernah nginep di sini,” tambahnya.
Ironi muncul saat melihat realitas Cikarang sebagai kawasan industri yang hidup tanpa henti. Ribuan pabrik beroperasi dengan sistem shift pagi, sore, hingga malam. Pekerja keluar masuk kawasan industri di jam-jam yang jauh dari jam normal.
Baca Juga:Polisi Beberkan Jenis Mortir Disangka Rongsokan yang Renggut Nyawa Pemulung di Babelan, Ternyata…. DINILAI ASBUN, Tim SAR Karawang Gugat Kades Wadas, Kuasa Hukum Siapkan Somasi dan Laporan ke Bupati
Namun, ketika mereka memilih transportasi publik yang seharusnya paling aman dan terjangkau, justru dihadapkan pada jadwal yang terbatas.
Di titik ini, Stasiun Cikarang seperti berdiri di persimpangan: menjadi pusat mobilitas sekaligus ruang tunggu darurat bagi mereka yang terlambat beberapa menit saja dari kereta terakhir.
Sebagian memilih bertahan semalaman, sebagian lain terpaksa merogoh kocek lebih dalam untuk ojek online, travel, atau bahkan penginapan murah terdekat.
Para penumpang tidak menuntut fasilitas mewah. Tidak meminta kursi empuk atau ruang tidur khusus. Yang mereka inginkan sederhana: jadwal yang lebih manusiawi, terutama di malam hari.
Tambahan perjalanan malam dinilai bisa menjadi solusi agar pekerja tak lagi menjadikan stasiun sebagai tempat singgah darurat.
Jika tidak ada perubahan, pemandangan penumpang terlelap di sudut stasiun dengan tas sebagai bantal akan terus menjadi cerita rutin sunyi, tapi nyata di salah satu stasiun tersibuk kawasan industri ini. (Iky)
