6. Penjara Eksklusif Ekosistem Apple
Pada tahap ini, pengguna mulai merasakan kenyamanan ekosistem Apple—iMessage, AirDrop, iCloud, Apple Watch, AirPods—semuanya bekerja mulus dan saling terpaut.
Namun kenyamanan ini bukan gratis:
Untuk tetap berada dalam ekosistem, pengguna harus terus membeli produk Apple lain, membayar penyimpanan cloud, dan memperbarui perangkat.
Pengguna menjadi penghuni penjara yang mewah — nyaman, eksklusif, tetapi dikurung oleh brand.
7. Alibi: “Ini Buat Kerja”
Pada tahap ini, pengguna menciptakan narasi pembenaran.
“Ini investasi.”
“Biar profesional kelihatan bagus.”
“Kameranya buat konten.”
Baca Juga:Menanti Duet Gelandang Timnas Ivan Jenner, Thom Haye dan Marc Klok di Persib Bandung, Profil Lengkap Ivan JennBerikut 5 Alasan Ivar Jenner Dirumorkan Tertarik Bergabung ke Persib Bandung
Padahal penggunaan sebenarnya lebih banyak untuk selfie, TikTok, streaming, dan chatting.
Di titik ini, pembelian bukan soal fungsi, tetapi pembenaran ego.
8. Kecanduan Validasi: Dopamin yang Dibeli
Tahap terakhir adalah ketergantungan pada pengakuan sosial.
Momen membuka box, foto mirror selfie pertama, atau komentar seperti:
“Wih upgrade ya?”
menjadi sumber dopamin yang membuat pembelian terasa layak, meskipun setelah itu yang tersisa hanyalah cicilan bulanan.
Ketika validasi mulai hilang, siklus dimulai lagi.
iPhone Bisa Dibeli, Tapi Akal Sehat Jangan Dicicil
Fenomena konsumsi iPhone di kalangan UMR bukan sekadar tren teknologi, tetapi cermin sosial—tentang mentalitas, tekanan ekonomi, marketing psikologis, dan krisis identitas kelas menengah.
Ponsel mahal tidak salah.
Yang salah adalah jika harga ponsel lebih mahal daripada masa depan yang dikorbankan.
Pertanyaan akhirnya sederhana:
Apakah kamu memakai iPhone, atau iPhone yang sedang memakai hidupmu?
