Penyakit Miskin Warga UMR: Demi Gengsi, iPhone Dicicil, Masa Depan Dikorbankan

Marc Klok Beli iPhone 17 Pro Max
Marc Klok Beli iPhone 17 Pro Max
0 Komentar

‎6. Penjara Eksklusif Ekosistem Apple

‎Pada tahap ini, pengguna mulai merasakan kenyamanan ekosistem Apple—iMessage, AirDrop, iCloud, Apple Watch, AirPods—semuanya bekerja mulus dan saling terpaut.

‎Namun kenyamanan ini bukan gratis:

‎Untuk tetap berada dalam ekosistem, pengguna harus terus membeli produk Apple lain, membayar penyimpanan cloud, dan memperbarui perangkat.

‎Pengguna menjadi penghuni penjara yang mewah — nyaman, eksklusif, tetapi dikurung oleh brand.

‎7. Alibi: “Ini Buat Kerja”

‎Pada tahap ini, pengguna menciptakan narasi pembenaran.

‎“Ini investasi.”

‎“Biar profesional kelihatan bagus.”

‎“Kameranya buat konten.”

Baca Juga:Menanti Duet Gelandang Timnas Ivan Jenner, Thom Haye dan Marc Klok di Persib Bandung, Profil Lengkap Ivan JennBerikut 5 Alasan Ivar Jenner Dirumorkan Tertarik Bergabung ke Persib Bandung

‎Padahal penggunaan sebenarnya lebih banyak untuk selfie, TikTok, streaming, dan chatting.

‎Di titik ini, pembelian bukan soal fungsi, tetapi pembenaran ego.

‎8. Kecanduan Validasi: Dopamin yang Dibeli

‎Tahap terakhir adalah ketergantungan pada pengakuan sosial.

‎Momen membuka box, foto mirror selfie pertama, atau komentar seperti:

‎ “Wih upgrade ya?”

‎menjadi sumber dopamin yang membuat pembelian terasa layak, meskipun setelah itu yang tersisa hanyalah cicilan bulanan.

‎Ketika validasi mulai hilang, siklus dimulai lagi.

‎iPhone Bisa Dibeli, Tapi Akal Sehat Jangan Dicicil

‎Fenomena konsumsi iPhone di kalangan UMR bukan sekadar tren teknologi, tetapi cermin sosial—tentang mentalitas, tekanan ekonomi, marketing psikologis, dan krisis identitas kelas menengah.

‎Ponsel mahal tidak salah.

‎Yang salah adalah jika harga ponsel lebih mahal daripada masa depan yang dikorbankan.

Pertanyaan akhirnya sederhana:

‎Apakah kamu memakai iPhone, atau iPhone yang sedang memakai hidupmu?

0 Komentar