KBEonline.id- Pendidikan selalu dimulai dari guru, tetapi kini guru sering justru menjadi pihak yang paling terakhir dipikirkan.
Di tengah gelombang besar modernisasi dan digitalisasi sekolah, pertanyaan paling mendasar: Apa makna menjadi guru saat ini?
Petanyaan itu perlahan kehilangan ruang untuk dijawab.
Hari ini hari guru. Berbagai seremoni digelar. Padahal Hari Guru bukan sekadar seremoni, bukan pula rangkaian kata ucapan yang berulang saban tahun. Bukan hadiah- hadiah kecil setelah jalan atau senam sehat, bukan piagam guru berprestasi.
Baca Juga:Endin Samsudin Nilai Tertinggi, Sekda Bekasi yang Baru Tinggal Tunggu Restu Gubernur Bupati Aep Ajak Warga Karawang Perangi Kekerasan dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Palestina
Di balik gebyar acara hari guru di lapangan kabupaten, di balik ratusan juta duit seremoni, di balik senyum para pendidik pada baliho sekolah, ada kegelisahan yang tak banyak terucap.
Sejatinya guru hari ini tengah berdiri di sebuah persimpangan zaman. Antara idealisme pendidikan yang memanusiakan manusia, dan tuntutan era yang semakin mengukur anak didik seperti angka dalam laporan kinerja. Portofolio…
Di ruang kelas, guru mengajar tentang nilai hidup, tetapi sistem menekan mereka untuk mengejar nilai rapor. Ketika perubahan kurikulum datang silih berganti, dan teknologi masuk agresif ke ruang pembelajaran, guru dipaksa menjadi seseorang yang tak lagi ia kenali: operator sistem, administrator, kreator konten digital, motivator sekaligus pelatih mental, namun jarang diizinkan hanya menjadi pendidik.
Perubahan itu tidak keliru. Zaman memang bergerak. Namun persoalan paling mendasar hari ini bukan pada perubahan, melainkan pada kehilangan identitas.
Beban dl sekolah-sekolah, tuntutan administratif menumpuk: laporan kinerja, RPP, evaluasi berlapis, pengisian aplikasi digital yang berubah-ubah, unggah dokumen yang tak pernah selesai.
Waktu guru untuk memanusiakan pembelajaran tergerus oleh pekerjaan yang memanusiakan sistem. Di jam istirahat, guru berdiskusi bukan lagi tentang karakter siswa atau gagasan inovasi pembelajaran, melainkan batas waktu unggah laporan dan format instrumen evaluasi.
Di balik papan tulis yang penuh semangat, banyak guru pulang dengan kecemasan. Guru honorer masih berjuang dengan pendapatan tak layak; kesejahteraan menjadi ironi lama yang tak kunjung tuntas.
Baca Juga:Warga Purwadana Bongkar Bangunan di Atas Tanah Pengairan, Harapkan Ganti Rugi LayakFacial Wash Aman Dipakai Mulai Usia Berapa? Ini Jawaban yang Perlu Kamu Tahu!
Sementara guru ASN pun bukan tanpa masalah, kariernya tidak lagi sepenuhnya ditentukan oleh pengabdian, tetapi oleh penilaian administratif.
