Pendidikan Selalu Dimulai dari Guru, tapi Kini Guru Justru Jadi Pihak yang Paling Terakhir Dipikirkan

Ist
Ist
0 Komentar

Sistem mengukur profesionalitas guru melalui indikator kertas, bukan kualitas interaksi dengan murid.

Pendidikan akhirnya menjadi ruang yang paradoks: guru diminta menanamkan nilai integritas, namun kerja hariannya justru dikepung prosedur yang membuat nilai-nilai itu kehilangan napas.

Kita ingin guru menghasilkan siswa berkarakter, tetapi waktu guru justru habis untuk mengejar tenggat unggah data. Dan ketika publik mengeluh atas merosotnya karakter generasi muda, kesalahan sering diarahkan kembali ke guru. Tanpa melihat struktur besar yang membuat guru kian tak berdaya.

Baca Juga:Endin Samsudin Nilai Tertinggi, Sekda Bekasi yang Baru Tinggal Tunggu Restu Gubernur Bupati Aep Ajak Warga Karawang Perangi Kekerasan dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Palestina

Teknologi Automatisasi, kecerdasan buatan, dan pembelajaran digital memasuki ruang kelas lebih cepat daripada kesiapan kita memaknainya.

Pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi pertukaran nilai dan kehadiran emosional. Namun menyalahkan teknologi tidak bijak. YaPersoalannya bukan pada kecerdasan mesin, melainkan pada cara kita menempatkannya.

Tanpa langkah filosofis, teknologi akan menggantikan, bukan membantu. Guru kehilangan tempat jika pendidikan sepenuhnya didefinisikan sebagai efisiensi, produktivitas, dan metrik kinerja.

Jika pengajaran direduksi menjadi konten digital, maka siapa pun suatu hari dapat menjadi guru, kecuali guru itu sendiri.

Di tengah arus perubahan ini, ada satu hal yang tidak berubah: murid tetap membutuhkan manusia untuk menjadi manusia. Anak-anak membutuhkan teladan, bukan sekadar materi pelajaran. Mereka membutuhkan kehadiran, bukan sekadar modul.

Pendidikan adalah seni membentuk karakter, bukan sekadar proses mencetak kemampuan. Dan seni itu hanya bisa dilakukan oleh manusia untuk manusia.

Di kelas, guru adalah saksi perjalanan tiap anak. Ia melihat mereka tumbuh dalam diam: anak yang pemalu mulai percaya diri, anak yang kesulitan belajar perlahan menemukan jalannya, anak yang sering marah tiba-tiba tersenyum karena merasa diterima. Tidak ada algoritma yang dapat mengukur momen-momen kecil semacam itu.

Baca Juga:Warga Purwadana Bongkar Bangunan di Atas Tanah Pengairan, Harapkan Ganti Rugi LayakFacial Wash Aman Dipakai Mulai Usia Berapa? Ini Jawaban yang Perlu Kamu Tahu!

Nilai kemanusiaan guru tidak terletak pada sertifikasi atau angka kredit, tetapi pada kemampuannya menjangkau batin anak didik. Itulah alasan pendidikan tak pernah bisa dipisahkan dari dimensi moral, etis, dan emosional.

Ketika kita mengecilkan peran guru menjadi sekadar “penyampai materi,” kita kehilangan esensi pendidikan: memanusiakan manusia.

Pendidikan bukan industri, dan sekolah bukan pabrik. Jika guru kehilangan ruang kemanusiaannya, seluruh bangunan pendidikan akan runtuh dari dalam.

0 Komentar