KBEONLINE.ID – Fenomena masyarakat kelas menengah yang berlomba membeli iPhone terbaru kini disebut sebagai gejala “penyakit sosial” yang jauh lebih kompleks dibanding sekadar gaya hidup gengsi. Para analis perilaku finansial menilai bahwa perilaku konsumtif ini bukan sekadar keputusan emosional, tetapi hasil dari pembajakan otak skala massal oleh sistem ekonomi modern.
Pembelian iPhone dengan paylater, cicilan 24 bulan, hingga utang rentenir digital disebut sebagai bentuk perbudakan finansial yang disamarkan sebagai modernitas. Para ahli menyebut kondisi ini sebagai Penyakit Miskin, yaitu pola psikologis yang membuat seseorang selalu merasa kurang dan terus mengejar validasi eksternal.
Berikut laporan lengkap mengenai 10 gejala Penyakit Miskin yang disponsori gadget mahal, termasuk iPhone, yang kini menginfeksi banyak orang.
Baca Juga:Lanal Cirebon dan DKP Gelar Aksi "Jabar Raksa Sagara" di Cilamaya, Bersihkan Sampah PesisirJuara Didepan Mata, Persika 1951 akan Hadapi Persikotas di Final Piala Gubernur Jabar
1. Rabun Masa Depan: Ketika Otak Tak Lagi Bisa Berpikir Jangka Panjang
Banyak konsumen kini terjebak pada pola hidup “gali lubang tutup lubang”, terfokus hanya pada bertahan sampai tanggal gajian. Kapasitas mental mereka habis untuk memikirkan kebutuhan hari ini, sehingga mustahil memproses hal abstrak seperti tabungan masa depan, dana darurat, atau perencanaan pensiun.
Ketika disodori pilihan antara menabung atau mengambil cicilan untuk iPhone baru, otak otomatis memilih kepuasan instan yang nyata: kotak iPhone yang baru dibuka.
2. Takut Dihina Circle: Perang Status di Kalangan yang Sama-Sama Insecure
Banyak pembelian iPhone bukan karena kebutuhan, tetapi ketakutan. Takut dianggap tidak sukses, takut dipandang remeh, atau takut tidak diterima lingkungan pertemanan.
Fenomena ini memperlihatkan perang status kelas menengah yang sebenarnya sama-sama rapuh secara finansial, namun saling berlomba menunjukkan simbol kemapanan berupa barang cicilan.
3. Perbudakan Paylater: Ilusi Mampu Bayar yang Membutakan
Paylater dan pinjol menciptakan ilusi “bisa bayar belakangan” sehingga konsumen merasa mampu membeli barang yang sebenarnya jauh di luar jangkauannya.
Ketika harga iPhone Rp24 juta dicicil 12 bulan, totalnya bisa tembus Rp31 juta akibat bunga. Artinya, konsumen menukar kerja keras setahun penuh hanya untuk membayar bunga ke platform finansial, bukan Apple.
