Stop Beli iPhone dengan Cicilan, 10 Gejala Penyakit Miskin Yang Membajak Otak

Stop Beli iPhone dengan Cicilan
Stop Beli iPhone dengan Cicilan
0 Komentar

Inilah bentuk modern dari perbudakan ekonomi: bekerja keras untuk membayar rentenir digital.

4. Kebodohan Fungsional: Ketika Logo Lebih Berharga dari Fungsi

Banyak pengguna mengabaikan spek fungsional sebuah ponsel. Kamera, RAM, baterai bukan lagi prioritas. Yang dibeli adalah status sosial* yang menempel pada logo Apple.

Kelemahan seperti memori tidak bisa ditambah, OS tertutup, atau charger dijual terpisah tetap dianggap “eksklusif” demi mempertahankan citra premium.

Baca Juga:Lanal Cirebon dan  DKP Gelar Aksi "Jabar Raksa Sagara" di Cilamaya, Bersihkan Sampah PesisirJuara Didepan Mata, Persika 1951 akan Hadapi Persikotas di Final Piala Gubernur Jabar

5. Virus FOMO: Ketakutan Ketinggalan Status, Bukan Teknologi

Perilaku upgrade iPhone setiap tahun terjadi bukan karena perangkat lama rusak, tetapi karena rasa takut dianggap ketinggalan.

Brand sengaja merilis peningkatan kecil—biasanya pada kamera atau chipset—untuk menciptakan kecemasan sosial. Padahal, secara fungsional, ponsel tahun lalu masih sanggup dipakai bertahun-tahun.

6. Sindrom Tembok Eksklusif: Terjebak di Penjara Digital Apple

Banyak pengguna merasa bangga dengan fitur eksklusif seperti iMessage biru dan AirDrop. Padahal, para analis menyebut ini sebagai jeruji besi digital.

Ekosistem Apple memang dirancang agar konsumen sulit pindah merek: data terkunci di iCloud, perangkat hanya sinkron dengan produk Apple lain, dan semua memerlukan biaya tambahan.

Konsumen akhirnya menjadi tahanan yang rela membayar lebih untuk memperkuat rantai yang mengikat dirinya sendiri.

7. Alibi Profesional: “Ini Buat Kerja”, Padahal Hanya Gengsi

Banyak pembelian iPhone dibenarkan dengan alasan profesional seperti kamera untuk konten, keperluan kerja, atau kebutuhan klien.

Namun dalam banyak kasus, ponsel tersebut hanya digunakan untuk WhatsApp, TikTok, scrolling Instagram, atau foto biasa. Alibi profesional hanya menjadi kedok untuk membenarkan gengsi agar terlihat “sibuk dan sukses”.

Baca Juga:Stop Minum dan Makan Manis, Ini Dia Bahaya Gula Bagi KesehatanFestival Literasi Karawang 2025 Diikuti 222 Siswa SD dan SMP, Dorong Penguatan Budaya Baca di Sekolah

8. Kecanduan Validasi: iPhone sebagai Obat Penenang Emosi

Di era sosial media, pamer iPhone baru dapat memberikan suntikan dopamine—rasa bangga dan dihormati sesaat.

Banyak orang membeli iPhone sebagai pelarian dari stres dan rasa tidak aman dalam hidup. Logo Apple dari saku menjadi simbol “aku cukup berharga”. Namun sensasi itu sementara, dan utang cicilan tetap mengejar.

9. Mekanisme Manipulasi Industri: Membuat Orang Miskin Merasa Kaya

0 Komentar