Lebih bahaya lagi, banyak yang melakukan liburan dan staycation menggunakan kartu kredit atau dana darurat. Alih-alih menenangkan pikiran, mereka justru menambah tekanan ketika tagihan muncul.
Healing yang sehat sejatinya sederhana dan murah, mulai dari tidur yang cukup, olahraga, hingga istirahat digital. Namun budaya konsumtif membuat alternatif gratis itu sering diabaikan.
4. Kredit Besar Tanpa Perhitungan: Jalan Pintas Menuju Stres Finansial
Kesalahan fatal berikutnya adalah mengambil kredit besar seperti KKB atau KPR tanpa menghitung kemampuan aliran dana.
Baca Juga:Ayah Kandung Resbob Si Penghina Viking Ternyata Koruptor, Bakal Reuni Keluarga Di Bui?Dewan Pers Lakukan Verifikasi Faktual ke Kantor Redaksi KBE
Banyak anak muda membeli mobil untuk gengsi, lalu terjebak biaya operasional yang tidak pernah diperhitungkan. Sementara KPR yang diambil terlalu besar membuat mereka mengalami sindrom house poor, di mana seseorang memiliki rumah, tetapi tidak lagi memiliki kemampuan hidup nyaman.
Kredit bukan musuh. Namun tanpa disiplin dan hitungan akurat, kredit menjadi beban panjang yang melemahkan masa depan.
5. Gacha dan Top Up: Pembunuh Perlahan Aliran Uang
Kebodohan paling halus dan paling berbahaya adalah kebiasaan top up game dan gacha kecil-kecilan yang dilakukan berulang.
Pengeluaran kecil yang tidak dicatat justru menjadi pembunuh utama arus kas. Lima puluh ringgit atau seratus ribu rupiah setiap minggu terlihat kecil, namun setahun bisa menjadi nominal besar.
Struktur gacha sengaja dirancang seperti mesin judi, menciptakan ketergantungan dopamin yang kuat. Tanpa kesadaran, uang mengalir ke layar ponsel dan tidak pernah kembali sebagai nilai nyata.
Fenomena Kebodohan Sistematis Akibat Budaya Konsumtif
Apa yang disebut sebagai “kebodohan manusia baru punya duit” sebenarnya adalah akumulasi dari keputusan-keputusan kecil yang didorong oleh budaya konsumtif, kurangnya literasi finansial, dan keinginan kuat untuk diakui secara sosial.
Tekanan sosial media, gaya hidup teman, dan iklan digital memperparah situasi hingga banyak anak muda tidak menyadari bahwa mereka sedang membangun pondasi finansial yang rapuh.
Baca Juga:Persib Bandung Nih Bos Raja Asia, Al-Nasr sama Gamba Osaka Aja Dibawah Maung Bandung!Deodorant vs Antiperspirant, Yang Mana Bikin Bau Hilang atau Keringat Stop? Jangan Sampai Salah Pilih!
Uang di usia 20-an seharusnya menjadi alat untuk membangun masa depan: tabungan, investasi, keterampilan baru, dan keamanan finansial jangka panjang. Namun tanpa kontrol, uang justru mengontrol mereka.
Jika dibiarkan, pola ini menjadi awal perjalanan menuju penyesalan. Jika disadari dan diperbaiki, masa depan finansial masih bisa diselamatkan.
