Orang Muda Tuntut Hentikan Solusi Palsu di Tengah Bencana Iklim yang Kian Brutal

Bencana
Bencana Sumatra
0 Komentar

Namun saat dilihat dari dekat, solusinya justru membuat polusi tetap berjalan dan industri fosil terus hidup.

Perusahaan sering mengumumkan bahwa operasi mereka kini ‘lebih hijau’ berkat teknologi yang mengurangi emisi. Mereka memamerkan grafik, brosur, dan jargon teknis yang meyakinkan.

Tetapi saat masyarakat masih kebanjiran, udara tetap kotor, dan desa-desa terus tenggelam, kita tahu bahwa yang berubah hanyalah narasinya, bukan kenyataannya.

Baca Juga:Penularan Penyakit Kusta Masih Mengancam Warga, Dinkes Karawang Gencarkan EdukasiLulus PPG 2025? Catat Baik-Baik, TPG Diprediksi Cair Maret 2026 Asal Syarat Ini Aman ‎

Ia mencontohkan, solusi carbon market, debt swap, Carbon Capture and Storage (CCS) dan Tropical Forest Forever Facility (TFFF) tidak menyelesaikan semakin seringnya banjir rob, intrusi air laut, dan amblasnya tanah di Demak, Jepara, Pekalongan, Semarang, hingga Cirebon yang diikuti dengan hilangnya ratusan hektar lahan pertanian, sampai relokasi paksa ribuan keluarga.

Berbagai pendekatan ini sebenarnya bisa bermanfaat jika dibarengi dengan pembenahan kebijakan struktural.

Tanpa menghentikan perambahan hutan, perampasan tanah adat, dan pembangunan yang merusak ruang hidup masyarakat, solusi-solusi tersebut hanya bekerja di permukaan dan tidak menyentuh akar permasalahan.

Hutan dan ruang hidup masyarakat dihitung sebagai “aset” yang bisa dibeli untuk menutupi emisi, sementara kerusakan di lapangan tetap berlangsung dan perusahaan tetap bebas menjalankan bisnis fosilnya.

“Kalau kita bicara transisi berkeadilan, maka langkah pertama adalah menghentikan pembangunan yang sifatnya ekstraktif. PLTU baru, smelter yang ditopang PLTU captive (PLTU yang dibangun dan dioperasikan oleh perusahaan industri, seperti pabrik smelter nikel, untuk memenuhi kebutuhan listriknya sendiri) dan perluasan tambang, justru membuat kita makin bergantung pada energi fosil. Itu bukan jalan keluar,” ujar Fathan

Penurunan Emisi Secara Cepat.

Ginanjar Ariyasuta, 26 tahun, Koordinator Climate Rangers (CR) Indonesia menegaskan bahwa krisis iklim adalah isu antargenerasi, dan generasi muda tidak lagi bisa menerima lambannya aksi pemerintah.

“Kita sedang krisis, dan yang dibutuhkan adalah penurunan emisi secara cepat. Solusi palsu yang tidak menyelesaikan sumber masalah hanya akan memindahkan beban transisi ke generasi yang akan datang,” ujarnya. Menurutnya, solusi berbasis pasar dan teknologi seringkali terlihat “seksi dan menarik” namun gagal mendorong pengurangan emisi yang berarti.

0 Komentar