“Jangan omon-omon. Generasi kami sudah banyak dirugikan dari degradasi kualitas lingkungan. Nasib generasi yang akan datang ditentukan kebijakan hari ini. Kami berhak mendapat masa depan yang adil, lestari, dan sejahtera,” tegasnya.
Pernyataan Ginanjar bukan hanya ungkapan frustrasi generasi muda, tetapi cermin dari kenyataan yang setiap hari dihadapi komunitas paling rentan di garis depan krisis iklim.
Masyarakat Adat menjadi garda terdepan dalam melindungi hutan dan keanekaragaman hayati. Di pesisir, masyarakat yang hidup di garis depan banjir rob dan abrasi terus kehilangan ruang hidup karena kombinasi kenaikan muka laut dan operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di sekitar permukiman.
Baca Juga:Penularan Penyakit Kusta Masih Mengancam Warga, Dinkes Karawang Gencarkan EdukasiLulus PPG 2025? Catat Baik-Baik, TPG Diprediksi Cair Maret 2026 Asal Syarat Ini Aman
Melihat bagaimana komunitas-komunitas ini berjuang bertahan dari krisis yang mereka tidak sebabkan, orang muda merasa terpanggil untuk tidak tinggal diam. Dari sinilah solidaritas mereka tumbuh dan meluas.
Suara kecil yang menopang
Fathan menyebutkan sejumlah organisasi, seperti Asihkan Bumi di Sukabumi, KARBON dari Cirebon, Lembaga Pers Mahasiswa Al Fikr di Paiton, juga Formma di Mentawai. “Mereka adalah suara yang mengakar dari kokreasi antar generasi dalam komunitas,” ujarnya.
Di Mentawai, Formma menolak izin baru Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Gerakan ini terinspirasi dari nilai keluhuran masyarakat adat yang turun-temurun menilai hutan sebagai sumber penghidupan yang tidak dapat dipisahkan.
Asihkan Bumi dan KARBON aktif melakukan aksi penolakan co-firing biomassa. Ini adalah bentuk bagaimana orang muda dapat mengolah data menjadi cerita yang narasinya memudahkan masyarakat luas memahami permasalahan di lapangan.
Beragam inisiatif tersebut menunjukkan bahwa gerakan iklim Indonesia tumbuh dari komunitas yang saling menopang, menolak menyerah pada krisis dan solusi palsu yang hanya menyamarkan kerusakan.
“Yang utama adalah mengorganisir diri dengan memperluas, menghubungkan, dan memperdalam gerakan orang muda. Hanya masyarakat yang terorganisir lah yang bisa mengalahkan uang yang terorganisir,” tegas Ginanjar. Ini juga peringatan bahwa kekuatan rakyat tidak akan cukup jika kebijakan negara terus bergerak ke arah yang berlawanan.
Banjir yang datang, rumah yang tenggelam, pohon yang hilang adalah pengingat bahwa waktu kita sebenarnya tidak banyak. Dan di tengah krisis yang kian nyata, solusi palsu hanya menunda kehancuran dan memperpanjang penderitaan.
