Data pribadi, pola pergerakan, hingga biodata dikumpulkan melalui berbagai sistem digital. Dalam kondisi seperti ini, warga sipil bukan hanya korban, tapi juga target yang dipetakan dengan presisi tinggi. Serangan tidak lagi acak, melainkan hasil kalkulasi algoritma.
Indoktrinasi dalam Masyarakat Israel
Jurnalis investigatif Anthony Lowenstein menjelaskan bahwa semua ini tidak berdiri sendiri. Di dalam masyarakat Israel, terdapat proses indoktrinasi yang sangat kuat sejak usia dini. Narasi yang ditanamkan adalah bahwa Israel selalu dalam posisi terancam, selalu diserang, dan penjajahan atas Palestina dianggap sebagai tindakan bertahan hidup.
Media yang nasionalistik dan rasis memperkuat narasi ini, membuat kekerasan terhadap Palestina terasa “wajar” dan bahkan “perlu”. Dalam kondisi seperti itu, empati perlahan mati, digantikan oleh pembenaran sistemik.
Apa yang Bisa Dilakukan Dunia?
Baca Juga:Rokok Tak Pernah Bohong: Menebak Gaji dari Asap yang Mereka IsapPersib Bandung Gusur Persija, Ramon Tanque Borong Dua Gol ke Gawang Bhayangkara
Dengan tegas dan sangat menegaskan bahwa perubahan tidak akan datang dari belas kasihan, melainkan dari tekanan internasional. Boikot, penarikan investasi, dan sanksi ekonomi disebut sebagai alat paling efektif untuk memaksa perubahan kebijakan.
Bagi masyarakat global, termasuk Indonesia, sikap tegas menolak normalisasi hubungan dengan Israel menjadi bentuk solidaritas nyata terhadap Palestina. Diam berarti membiarkan industri perang ini terus berjalan.
Kesimpulan
Pada akhirnya kesimpulannya adalah satu hal pahit: perang telah berubah menjadi bisnis yang sangat menguntungkan. Palestina bukan hanya korban konflik, tapi korban sistem global yang menjadikan penderitaan manusia sebagai komoditas.
Ini terdengar kejam, bahkan biadab. Namun itulah realitas yang terjadi—saat teknologi, politik, dan uang bertemu di atas darah rakyat yang tertindas.
