Persika di Dua Laga

0 Komentar

PERSIKA Karawang dengan segala keterbatasan akhirnya mendaftar sebagai peserta Liga 3. Maksud dari keterbatasan; tim dibentuk tanpa ada manajemen layaknya sebuah klub profesional di industri sepak bola. Pun juga ongkos yang seadanya–jika tak mau dikatakan tak ada uang. Per kemarin saja, insan peduli Persika terus menggalang donasi untuk menghidupi klub.

Persika sebagimana ditulis oleh koran ini edisi 8 September kemarin dengan judul “Hidup Sulit, Mati Ya Jangan” mengawali liga masuk dalam kelompok Liga 3 klib-klub ang berasal Jawa Barat. Laskar Jawara bakal berhadapan dengan pesaing di antaranya Maung Anom, Bandung United, Benpica Karawang, Persigar, Persikasi, PSGC, Prima Con, Bareti 1698, Persikab, Persitas, Perses, Persebam, Kabomania, Bintang Timur, Persipo, dan PS Gunung Djati. Jika sesuai jadwal, liga akan dimulai per 24 Oktober mendatang. Kendati pluit kick-off Liga 3 belum dibunyikan, Persika sebenarnya sudah memulai pertandingan. Bertanding dengan nasib: hidup atau mati. Pertandingan ini sialnya, marathon tanpa jeda–dari sejak tim yang tanpa manajemen ini dibentuk, hingga liga dinyatakan berakhir dengan mengeluarkan tim juara. Singkatnya, tahun ini Persika bertanding pada dua laga sekaligus. Yang satu, laga yang sekadar soal kemampuan skuad di lapangan hijau. Yang kedua, tentang nasib dan keyakinan para penggerak tim. Jika laga yang kedua kalah, kita tak bisa lagi melihat laga satu berjalan. Cukup kalimat shadakallahulazim yang menggambarkannya. Semua keloyo-koploan kantong manajemen Persika, sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Namun justru karena ini bukan yang pertama, intuisi publik bekerja, membuat semacam hipotesa: penyakit kambuhan apa yang mengiringinya. Setiap kali kekuatan politik mengambil jarak dari Persika, tak lama penyakit kambuhannya muncul. Bukan salah politisi yang kelewat genit ikut bergaya di lapangan hijau. Sepak bola sebagai sebuah permainan, jika menyitir teori homo luddens (manusia bermain) Johan Huizinga, sudah masuk pada permainan level tinggi (Agoni), permainan pada level ini dengan sendirinya diundang ataupun tidak, akan selalu melibatkan unsur yang non-luddens atau yang bukan unsur permaianan dalam sepak bolanya saja. Jadi politik memang tak bisa dipisahkan dalam sepak bola. Di mana pun. Kapan pun. Dalam fakta seperti itu, sebuah klub sepak bola jika ingin stabil, manajemen jangan menyandarkan semua harapan padah tubuh-tubuh politisi. Anggap saja mereka sekadar iklan saja. Ke depan, harus menjadi perhatian Persika perlu serius membangun kultur industri dengan pengelolaan yang profesional. Sehingga saat ada lagi peristiwa politik mengambil jarak dari sepak bola, Persika sudah memiliki antibodi yang manjur. Membuat Persika tetap hidup, menjadi penting. Sebab, di tengah kelimbungan sebuah daerah mencari identitas baru yang salihun li ku’li zaman wal makan (relevan di waktu dan tempat apa saja), kadang sepak bola menjadi alternatif pilihannya. Khusunya, bagi para anak muda, yang mencari semacam simpul komunalitas bagi generasinya. Pada akhirnya, menjaga Persika tetap hidup dan mengikuti kompetisi bukan saja sekadar merawat sebuah klub sepak bola. Tapi sekaligus kita sedang memastikan para remaja di Karawang punya identitas yang menyatukan mereka. Awet rajet Laskar Jawara! (*)

0 Komentar