Selama menjalani proses pendidikan, bisa dipastikan para TNI
juga dididik dan disosialisasi agar senantiasa menjunjung tinggi Pancasila
sebagai fondasi politik bangsa Indonesia. Bagi orang-orang yang berhasil masuk
menjadi anggota TNI, idealnya mereka tidak lagi mudah terpapar paham
radikalisme. Tetapi, yang menjadi masalah, orang-orang yang terpilih pun
ternyata juga tidak selalu steril dari pengaruh radikalisme.
Meski dalam proses rekrutmen telah dilakukan seleksi yang
ketat, di mana setiap warga masyarakat yang melamar menjadi TNI selalu diperiksa
latar belakang keluarga dan kemungkinan mengalami paparan ideologi yang
kontraproduktif. Ternyata itu semua bukan jaminan. Di tengah perkembangan
teknologi informasi dan internet yang makin masif, risiko anggota TNI terpapar
paham radikalisme justru sangat besar.
Habitus keluarga masa lalu dan pergaulan dengan peer-group
yang salah sangat mungkin menjadi faktor yang memengaruhi kemungkinan anggota
TNI terpapar paham radikalisme. Di sisi lain, kepribadian yang rapuh dan mudah
terpengaruh ideologi lain juga menjadi faktor yang memperbesar risiko anggota
TNI terjerumus dalam pengaruh ideologi yang salah.
Baca Juga:Rayakan Diesnatalis ke-5, Kampus UBP Diserbu Pelajar se-KarawangPak Mendikbud, Ibu Bupati, Sekolah Ini Rusak Parah, Guru Pun Jarang Ngajar
Untuk memastikan agar TNI aktif yang terpapar radikalisme
tidak makin berkembang, dan bagi yang terpapar juga dapat diresosialisasi, yang
dibutuhkan tentu bukan sekadar mekanisme penghukuman. Mendekonstruksi dan
kemudian merekonstruksi pikiran TNI yang terpapar radikalisme, yang dibutuhkan
niscaya adalah pendekatan personal yang mampu memberikan sentuhan khusus. Dalam
konteks ini, peran pimpinan TNI yang patriotik, disegani, dan bahkan menjadi
idola sangat penting sebagai teladan atau role model para anggota TNI yang
terpapar paham radikalisme. (*)
*) Bagong Suyanto Guru besar FISIP Universitas Airlangga, meneliti radikalisme di Indonesia