Oleh: Wiji Pratama
TAHUN 2020 menjadi tahun apes bagi hampir seluruh negara di dunia. Ekonomi terpukul. Di sebagian negara maju, kepercayaan publik pada kekuasaan terus merosot. Juga di negara-negara berkembang. Saat kantong negara mulai cekak, enerji mulai terkuras, kita juga tak boleh anggap enteng potensi ancaman senjata biologi dan keamanan siber selama menghadapi pandemi COVID-19, yang disebabkan virus corona tipe SARS-CoV-2. Banyak negara maju pun mulai awas soal ancaman ini. Ancaman bergeraknya sel-sel tidur terorisme dunia saat negara-negara yang belakangan stabil memerangi eksitensi mereka, kini tengah disibukkan oleh sesuatu yang tak kasat mata: virus covid-19. Saat kepercayaan publik merosot, setiap ucap negara pasti masygul dipercayai. Menjadi berbahaya jika potensi ancaman terorisme itu ada di tengah panemi, dan saat negara mengucap, publik tak mempercayai. Hal ini kiranya yang menjadi poin serius yang diantisipan oleh banyak negara. Pandemi COVID-19 diduga memberikan keuntungan bagi kelompok teroris. Pasalnya momen ini digunakan teroris untuk meningkatkan serangan sekaligus merekrut anggota baru. Yang pertama bisa dilakukan diawali dengan ancaman via dunia maya di saat banyak orang hampir seluruh aktivitasnya dilewati pakai internet karena pembatasan aktivitas. Yang kedua, merekrut anggota lewat celah: tak terbilang berapa banyak miskin baru di seluruh dunia akibat dampak pandemi. Peneliti gerakan terorisme di Indonesia, Boor Hooda Ismail belum lama ini pun memberi contoh IS sempat menyiarkan fatwa di dunia maya yang mendorong simpatisannya meningkatkan serangan teror selama pandemi. “Ini sebetulnya fatwa yang disampaikan media mereka, An-Naba, artinya kabar berita. Intinya, saat negara-negara sibuk menghadapi pandemi, mari kita serang ramai-ramai. “Ini fatwa yang di dunia global, ternyata digunakan kelompok yang ada di Indonesia,” ucap dia saat sesi seminar yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta, Jumat 8 Mei 2020 sebagaiamana dikutip dari Antara. Ia menyebut Ali Kalora, merupakan salah satu warga Indonesia dan simpatisan IS yang mengikuti isi fatwa tersebut. Ali Kalora bersama kelompoknya, Mujahidin Indonesia Timur (MIT) diduga menyerang aparat keamanan di Poso, Sulawesi Tengah, pada April tahun ini. Dalam aksi itu, salah satu mantan narapidana terorisme, Ali alias Darwin Gobel diyakini ikut terlibat. Ia berpendapat kelompok yang paling rentan disusupi seruan itu adalah mantan narapidana teroris. Dari 900 narapidana teroris, hampir 80-an (sekitar delapan persen) yang kembali. 80 persen saat mereka balik, kembali di dunia-nya lagi. Temuan yang menarik, saat mereka kembali 75 persennya punya posisi yang upgrade (meningkat, red). Ancaman Senjata Biologi Dalam perjanjian internasional— Konvensi Senjata Biologis 1975 (BWC), perjanjian yang melarang pengembangan, pembuatan, dan penyimpanan senjata pemusnah massal biologis– banyak negara sepakat mendukung upaya pencegahan ancaman biologi menjadi ancaman senjata biologi. Dalam literatur disebut, bio-terorisme. Di saat yang sama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat per April tahun ini ada 88 juta serangan siber dari dalam dan luar negeri. Serangan siber punya dampak merusak apabila menyerang fasilitas publik seperti sarana kesehatan dan sumber listrik. Kita tak bisa bayangkan bagaima jika tiba-tiba data pasien di rumah sakit kena retas. Atau mematikan sumber pembangkit listrik. Belum, saat sedang menangani pasien, lampu seluruh kota mati total. Tentu ngeri, dan bukan hal mustahil pada era yang serba digital seperti saat ini. Lewat sejumlah kemungkinan dan potensi ancaman yang tak boleh kita acuhkan, juga tanpa perlu terlihat panik, yang bisa pemerintah lakukan harus memperbaiki tingkat kepercayaan publik. Sembari di saat yang sama, intelejen berkerja mengurus semua potensi ancama terorisme yang sangat mungkin terjadi itu. (*)