… Sejumlah orang yang tak disebut namanya yang mengawal kedua pemimpin itu kembali dari Rengasdengklok; orang-orang yang menyiapkan bendera merah putih, pengeras suara, rekaman, upacara sederhana, dan berdoa….
SEJARAH menjadi begitu bernilai karena mengandung pengakuan-pengakuan
Sudah 75 tahun bentang kemerdekaan bangsa ini. Dan kita selalu teringat ini
tiap 17 Agustus. Tanggal itu
telah jadi sebuah institusi. Kita memberinya nama dan merayakannya dalam sebuah
lagu dan perayaan lainnya.
Ada ritual tiap pukul 09.00 teks Proklamasi dengan tulisan
tangan Bung Karno yang bergegas itu dibacakan kembali. Momen 75 tahun yang lalu
itu seakan-akan patung pualam yang tak boleh lekang dan lapuk.
Baca Juga:Ihsanudin: Lawan Bank Emok dengan Kredit ‘Mesra’Saepul Huda Dorong Pemkab Purwakarta Buka Pariwisata Saat New Normal
Sebenarnya di balik 17 Agustus sebagai sebuah ingatan yang diritualkan, ada keadaan dan kerja yang tak terhitung ragamnya: para pemuda yang dengan semangat berapi-api dan jantung berdebar mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk berani tak patuh kepada penguasa Jepang.
Bung Karno dan Bung Hatta yang dengan sabar tapi cemas mengikuti desakan itu—dan kemudian menyusun teks yang di sana-sini dicoret itu; sejumlah orang yang tak disebut namanya yang mengawal kedua pemimpin itu kembali dari Rengasdengklok; orang-orang yang menyiapkan bendera merah putih, pengeras suara, rekaman, upacara sederhana, dan berdoa….
Kerja dalam ragam yang tak habis-habisnya itu bahkan belum bisa membuat suara Bung Karno jadi sebuah gaung yang tak mati-mati, ke seluruh Indonesia, ke hari-hari mendatang. Setelah beratus tahun menunggu, tiba-tiba datang satu saat ketika kolonialisme jebol dan orang Indonesia bisa berkata bahwa dirinya “merdeka”.
Sejarah memang tak semuanya rapi. Ia punya elemen yang disebut Bung Karno “menjebol”. Kata itu menunjukkan sebuah aksi; bukan “penjebolan”, bukan “jebolan”, bukan sebuah kesimpulan, atau hasil ataupun keadaan. “Menjebol” menyiratkan sebuah keyakinan yang ada dalam proses. Tapi ia justru bermula seakan-akan mematahkan waktu di tengah.
Kita tahu, 17 Agustus bukanlah sesuatu yang secara ontologis terpisah dari situasi waktu itu. Sama salahnya dengan menganggap Peristiwa 30 September sebagai bukti “kesaktian” Pancasila, kita akan keliru bila menganggap detik ketika Proklamasi itu dimaklumkan adalah sebuah momen yang muncul bagaikan mukjizat.