“Nah ini harus benar-benar serius memperhatikan situasi ini, jangan sampai industri kita menurun dan risikonya penerimaan negara juga menurun karena industri tidak mampu lagi beroperasi dan tidak mampu membayar pajak,” imbuh Danang.
Ajib Hamdani, anggota tim analis kebijakan ekonomi Apindo, menggambarkan penurunan daya beli masyarakat sebagai momok yang menakutkan bagi perekonomian dan dunia usaha Indonesia.
Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, daya beli harus ditingkatkan melalui insentif. Hal ini dikarenakan konsumsi, yang menyumbang sekitar 53% dari PDB, akan menurun seiring dengan menurunnya daya beli.
Baca Juga:7 Aplikasi Edit Video Terbaik untuk Smartphone, Pas Buat Pemula7 Peristiwa Astronomi Menakjubkan di Langit Malam Juli 2024
Karena kelas menengah memiliki dampak yang signifikan terhadap konsumsi nasional dan tidak menerima banyak insentif fiskal, Apindo mendesak pemerintah untuk mengenali daya beli kelas menengah dengan baik.
“Kelas menengah adalah yang paling terdampak secara negatif sejak pandemi ini… Kelas terbawah adalah yang menerima subsidi terbesar, tambahnya. Contohnya adalah subsidi energi, gas 3 kg, dan subsidi pertalite.
Alih-alih memberikan insentif keuangan kepada kelas menengah, ia berharap pemerintah akan menggunakan peraturan sebagai sarana dukungan. Penurunan suku bunga acuan mungkin akan bermanfaat dalam situasi ini.
Menurut Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian, kebijakan yang mendorong kenaikan pendapatan kelas menengah, seperti kenaikan UMR yang lebih besar dari inflasi, dapat digunakan untuk meningkatkan daya beli masyarakat kelas menengah.
“Dalam beberapa tahun ke depan, kebijakan pemerintah harus mengarah pada peningkatan pendapatan masyarakat, seperti membiarkan upah minimum naik lebih tinggi sesuai dengan inflasi,” katanya.
Ia khawatir jika hal ini tidak dilakukan, konsumsi dan daya beli masyarakat akan terus menurun sehingga mengganggu dunia usaha dan ekspansi ekonomi Indonesia.