KBEONLINE.ID– Menurut Alphonzus Widjaja, ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), daya beli kelas menengah ke bawah yang meningkat merupakan penyebab meningkatnya praktik impor dan penjualan kembali barang-barang ilegal. Akibatnya, mereka sering kali memutuskan untuk membeli barang impor ilegal yang jauh lebih murah untuk memenuhi kebutuhan sekunder mereka.
Akibatnya, kelas menengah ke bawah sekarang menghabiskan sumber daya mereka yang terbatas untuk barang-barang yang lebih murah. Karena harga satuannya yang sangat murah di Tanah Abang, Rp 100.000 dapat membeli tiga potong pakaian, dan impor ilegal menjadi sangat umum.
Alphonzus mengatakan, “Itulah yang membuat masyarakat menengah ke bawah akhirnya bisa sampai ke sana.”
Baca Juga:Rupiah Menguat Drastis, Dollar AS Terpuruk Akibat Kabar Resesi!Cassandra Lee Dilamar Romantis di Marina Bay Sands: Netizen dan Selebriti Ramai Beri Ucapan Selamat!
Ia menggambarkan situasi saat ini seperti gayung bersambut, di mana Industri Tekstil Nasional sedang dilempar ke luar dari keseimbangan oleh serbuan barang-barang impor murah, sementara daya beli masyarakat menengah ke bawah menurun. Untuk itu, Alphonzus berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tepat.
“Jangan sampai pemerintah mengambil keputusan untuk membatasi impor resmi, itu salah. Saya yakin yang menyebabkan masalah di bisnis tekstil bukan impor resmi, tapi karena daya beli masyarakat yang rendah, masyarakat mencari barang yang murah, atau impor ilegal,” katanya.
Sebelumnya, BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05% pada kuartal II 2024. Dengan persentase 54,53%, pengeluaran rumah tangga terus menopang kenaikan ini. Konsumsi menyumbang 2,62% dari kenaikan tersebut.
Meski berkontribusi paling besar, pertumbuhan sektor konsumsi selama tiga kuartal terakhir tidak pernah melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5%. Tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya sebesar 4,93% pada kuartal II-2024.