KBEONLINE.ID– Para pengembang mengakui bahwa program 3 juta rumah yang dianggap gratis ini membuat banyak orang membatalkan pembayaran uang muka atau down payment (DP) atau tanda jadi untuk menjadi pemilik rumah. Karena pembatalan sepihak dari konsumen, sebagian rumah pengembang tidak terserap, yang membuatnya harus menelan pil pahit.
“Sebenarnya itu asumsi aja kalau dikira gratis, Padahal nggak mungkin gratis. Modal satu rumah aja itu sudah berapa ratus juta ya. Jadi ngga murni, 3 juta rumah itu menunda pembelian hanya karena psikologis,” kata Associate Director Property Martin Samuel Hutapea.
Ia menilai, progres pengembang akan berdampak, seperti penyaluran pendanaan untuk bahan bangunan dan komponen rumah. Namun, pembatalan pembelian properti ini tidak akan berdampak pada semua pengembang.
Baca Juga:Mulai Desember 2024, Pertamina Resmi Naikkan Harga BBM Non-Subsidi: Siap-Siap Rogoh Kocek Lebih Dalam!Wow, Jalan Tol Baru Ini Pangkas Waktu Tempuh Bogor-Bandung Secara Drastis!
“Bukan sekelas Ciputra, tapi pengembang yang mengkhususkan diri membangun rumah bersubsidi pasti akan terkena dampaknya. Namun, memang benar bahwa rumah kelas menengah ke bawah dan subsidi ditujukan untuk pengembang. Tidak diragukan lagi, hal itu berdampak. Karena banyak konsumen yang menunda-nunda,” kata Martin.
Jika pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% tanpa memperpanjang insentif PPN ditanggung pemerintah (PPN DTP), yang hanya berlaku hingga Desember 2024, penjualan rumah mungkin akan semakin menurun. Memang, ada perdebatan tentang apakah insentif PPN – termasuk insentif bphtb – akan bertahan atau tidak.
“Jika PPN naik dan tidak ada insentif, saya yakin penyerapannya bisa turun 10% hingga 15%. Oleh karena itu, pemerintah menanggung 11% dari PPNDTP dan 5% dari BPHTB,” kata Martin.
Saat ini, penyerapan telah menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Alasannya, harga rumah sudah terlalu tinggi mendekati Rp 2 miliar.
Martin menyatakan, “Sejujurnya, penjualan sempat kencang di tahun 2021-2022, saat harga unit masih di kisaran Rp 1 miliar. Namun, banyak orang yang memang berada di level Rp 2 miliar. Di Depok, ada pengembang yang mematok harga Rp 1,8 miliar, dan 20% penjualannya juga hilang. Di BSD, kalau Rp 1,8 miliar orang menginginkannya. Penyerapan pasar melambat karena harganya sudah di atas rata-rata, mencapai Rp 2 miliar.”